Rabu, 18 Juli 2012

ONE STEP CLOSER

Kembali aku melihat benda bundar yang terikat di pergelangan tangan kiriku. Entah sudah berapa kali aku melihatnya selama kurang lebih satu jam ini. Dua jarum di dalamnya terus berputar, pertanda aku telah membuang waktuku dengan percuma. Tidak. Bukan aku, melainkan keadaan lah yang telah membuang waktu yang kumiliki.
Satu jam telah berlalu, dimulai dari taxi yang kupesan tiba di depan pagar rumahku. Seharusnya kini aku telah berada ditempat yang akan kutuju. Namun kenyataannya setengah perjalanan pun belum aku tempuh.

"Pak, bisa cari jalan alternatif lain ? Saya buru-buru nih, Pak"

"Aduh Mas, ini juga kita udah lewat jalan pintas. Tapi tetep aja, Mas. Macet. Maklum lah Mas, ini kan malam minggu. Banyak kendaraan dari luar kota."

Kembali aku terdiam. Mencoba membuang keluh yang kurasakan dalam sebuah hembusan nafas panjang.
Yah... Supir taxi itu berkata nyatanya keadaan. Ini adalah malam minggu, saat dimana kendaraan dengan plat nomor dari kota lain menjadi mayoritas dijalanan kota ini. Saat dimana semua orang disarankan untuk melonggarkan batas kesabaran mereka ketika berada dijalanan.

Aku menurunkan kaca pintu disampingku. Berharap angin malam dapat sedikit mengendurkan ketegangan dalam sarafku. Seketika, deru laju kendaraan terdengar jelas dalam rongga telingaku. Hembusan angin meniup lembut helai rambutku. Temaram lampu kota biaskan rona wajahku. Hiruk pikuk jalanan Kota Kembang kini dalam indera penglihatanku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain duduk manis dikursi penumpang. Antrian kendaraan masih terlihat memanjang, sebelum aku tiba dibatas lampu lalu-lintas. Untuk selanjutnya memasuki antrian baru di lampu yang lain. Hingga tiba di tempat seharusnya aku berada kini.

Kerlip lampu kota memang mampu sediki membiusku, hingga rasa bosan sedikit tersingkir dari benakku. Namun kenyataan bahwa aku telah terlambat membuat saraf di otakku sulit mengendur.

Kunyalakan lighter dalam genggamanku, bermaksud menyulut sebatang 'racun' yang telang aku selipkan terlebih dahulu diantara bibirku. Mencoba memberi tambahan penenang dalam tubuhku. Menguapkan 'jengah' yang kurasakan bersama sembulan asap beracun.
Namun belum sempat ujung rokokku terbakar, mataku menangkap keberadaan benda mungil yang tergeletak disamping kemudi. Lama aku menatapnya, sebelum akhirnya sebuah senyum tergurat dari bibirku.

"Maaf Pak, itu punya Bapak ?"

"Apa Mas ?"

"Itu yang disamping kemudi Bapak"

"Oh... Bukan Mas, itu punya penumpang sebelum Mas. Kayaknya terjatuh, kenapa, Mas mau ?"

"Hmmm... Saya beli boleh Pak ?"

"Walah... Ga usah Mas, buat si Mas aja, lagian saya ga doyan"

"Beneran Pak. Makasih deh kalo gitu"

Selain binar lampu kota, supir taxi disampingku ini juga mampu menyingkirkan rasa jenuh dikepalaku. Lelaki yang telah cukup berumur ini sangat ramah untuk ukuran seorang supir taxi. Kami sedikit berbincang ditengah kemacetan yang menjebak kami.
Dan dalam genggamanku kini terdapat sebuah benda pemberian Sang Supir taxi. Sebuah senyum lebar mengembang dari bibirku. Layaknya bocah yang mendapat sebuah permen. Benda dalam genggaman ku ini memang sebuah permen. Lollypop lebih tepatnya. Namun sayang, aku bukan lagi seorang bocah. Meski perasaanku kini tak jauh berbeda dengan seorang bocah.
Kupandangi benda mungil yang harganya tak jauh beda dengan sebatang 'racun' yang tadi akan kuhisap. Kembali kilasan masa lalu berputar dikepalaku. Adegan dimana ia membujuk ku untuk berhenti merokok dengan lollypop sebagai gantinya. Lollypop yang sama persis seperti yang aku pegang kini.
Masih jelas terekam dalam ingatanku senyumnya kala itu. Senyum yang ia simpulkan ketika mendapati wajahku cemberut setelah ia berhasil merampas sebungkus racun milikku. "Percayalah, setangkai lollypop ini mampu memberikan ketenangan lebih dibandingkan sebung racun milik mu itu." Begitu ia berkata. Luluh aku dibuatnya. Hingga aku berhasil membuang jauh kebiasaan burukku itu. Namun kini candu akan batang racun itu kembali dihidupku. Setelah depresi akan kehilangan dirinya menghinggapiku.
Lama aku terbawa dalam lamunan bersama lollypop dimulutku. Menikmati manis kandungan gula didalamnya. Merasakan lembut teksturnya. Memahami unik aromanya. Rasa tenang kini menjalar disaraf otakku. Bersama dengan datangnya kerinduan yang mendalam terhadap ia yang telah tiada.
Perlahan, satu per satu titik kemacetan telah kami lewati. Menembus padatnya Jl.Ir.H Djuanda di malam minggu memang bukan persoalan mudah. Dan kini kakiku telah berpijak pada tanah. Melangkah menuju tempat yang telah dijanjikan. Dihadapanku berdira tegak bangungan mewah yang bernuansa minimalis. Sebuah resto yang menjadi primadona para pelancong. Selain karena masakannya yang terkenal, pemandang yang ditawarkan resto ini juga menjadi daya tarik utama. Tak heran karena resto ini terletak di kawasan Dago atas. Dimana panorama kota bandung akan terlihat sangat indah.
Namun mataku mendapati suatu kejanggalan dihadapanku. Resto ini nampak sepi. Suatu hal yang sangat jarang terjadi kecuali resto ini dalam keadaan tidak beroperasi. Segera aku menghubungi Pram.

"Kamu dimana?" ucapku setelah ia menjawab panggilanku.

"Kamu langsung ke resepsionis aja yah. Tanya meja atas nama ku."
"Tapi Pra...m" panggilan pun terputus sebelum kalimat ku selesai diucapkan. Yah... Walaupun resto ini sepi tapi aku masih melihat ada seorang resepsionis yang berjaga di pintu masuk. Pertanda bahwa resto ini tidak dalam keadaan tutup. Segera aku menghampirinya.
"Selamat malam mba"

"Selamat malam Pak.Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya ramah.

"Meja atas nama Pramudya sebelah mana ya Mba?"

"Bapak ini yang bernama Krisna'?" wanita ini malah bertanya balik kepadaku.seolah ada banya meja yang dipesan dengan nama Pramudya. Sehingga ia harus memastikannya terlebih dahulu.

"Iya, betul Mba"

"Baiklah. Silahkan ikut saya" wanita itu tersenyum.lalu membawaku ke sebuah pintu yang kutahu bukan pintu utama dari tempat ini.

"Silahkan Pak, Pak Pramudya ada didalam" kemudian ia pergi setelah memberikan senyum ramahnya untukku.
Tanganku pun meraih pegangan pintu, namun kakiku tak mampu untuk ku gerakan tatkala pintu dihadapanku terbuka dengan sempurna. Tubuhku membatu ketika mataku mendapati apa yang ada dihadapanku. Silhuet sosok nya begitu indah diterpa remang purnama, dipadu dengan remang cahaya lilin yang memenuhi setiap sudut ruangan ini. Dapat kulihat senyum terlukis diwajahnya. Ia pun bangkit dari duduknya mengulurkan satu dari tangannya. Mengajakku untuk segera mendekati tubuhnya. Beku tubuh ku pun perlahan mencair, dan kakiku pun melangkah menghampirinya. Seketika rongga telingaku menangkap sebuah melodi, intro dari lagu yang sangat kuhafal.

Heart beats fast
color and promises
how to be brave
how can i love with not affraid
to fall

Suara merdu milik Christina Perry mengalun indah. Mengiringi langkahku untuk semakin mendekati sosoknya. Kini aku merasa seperti Bella Swan yang sedang berjalan menuju altar dimana Edward Cullen telah menunggu.
Jarak kami hanya tinggal beberapa langkah. Semakin tegas rupa yang terbias oleh remang cahaya dihadapanku.

One step closer
i have died everyday
waiting for you
darlin dont be affraid
i have love you for a thousand year
i'll love you for a thousand more.

Aku meraih jemari tangan yang ia ulurkan. Menatap lekat setiap lekuk wajahnya. Dialah Pram, kekasihku kini. Seorang yang telah menggu hatiku bertahun lamanya. Seorang yang tak pernah sekalipun meninggalkan ku dalam pilu. Seorang yang sungguh mencintaiku tulus meski tak pernah ada balas dariku dulu. Yah... Itulah dia. Kini penantiannya tak menjadi sia-sia, aku menjadi miliknya setelah seorang yang kucintai pergi selamanya. Kini dia hadir, menjadi pengganti atas masa lalu yang tak kan kembali.

Dan sekali lagi, ia melakukan hal yang membuat diriku semakin dalam jatuh pada hatinya. Entah bagaimana ia melakukan semua ini. Seorang pria menyiapkan candle light dinner yang begitu romantis untuk seorang pria lagi. Entahlah. Aku tak mau tahu. Yang aku tahu, aku sangat mencintai Pram.

"Ada sebuah kejutan lagi yang aku persiapkan" ucapnya setelah aku membenamkan tubuhku dalam peluknya. Lalu Pram mengajakku untuk naik ke lantai dua ruangan ini. Mataku ditutup oleh kain terlebih dahalu olehnya. Dan baru dibuka setelah kami tiba di lantai dua. Tak ada kata yang terucap dari mulutnya, hanya sebuah senyum manis yang terlihat. Di ikuti dengan tangannya yang menunjuk area lantai satu. Aku mengkuti arah telunjuknya. Dan ASTAGA. Kini aku dibuat benar-benar tak bisa berkata. Beratus lilin yang menerangi area lantai satu ternyata dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah untaian kata. Lutut ku lemas menatap nya. Hampir aku terjauh bila tak ada pembatas yang menjadi penahan tubuhku. Aku berbalik kearah Pram yang berada disampingku. Kini ia tengah berlutut dengan kotak beludru biru ditangannya. Isi kotak itu bercayaha diterpa sinar sang purnama. Lagi, senyum itu terlukis diwajahnya. Hanya sebuah kalimat yang mampu aku ucapkan.
"I DO"

END

3 komentar:

  1. Oh My God....eot, sumpah perasaan campur aduk kaka ampe mata juga berkaca2...good luck

    BalasHapus
  2. Atuuuuuuuuuuun, ceritanya kereeeen. pertama komen di blog atun :-)

    BalasHapus