Kembali aku melihat benda bundar yang terikat di pergelangan tangan
kiriku. Entah sudah berapa kali aku melihatnya selama kurang lebih satu
jam ini. Dua jarum di dalamnya terus berputar, pertanda aku telah
membuang waktuku dengan percuma. Tidak. Bukan aku, melainkan keadaan lah
yang telah membuang waktu yang kumiliki.
Satu jam telah berlalu, dimulai dari taxi yang kupesan tiba di depan
pagar rumahku. Seharusnya kini aku telah berada ditempat yang akan
kutuju. Namun kenyataannya setengah perjalanan pun belum aku tempuh.
"Pak, bisa cari jalan alternatif lain ? Saya buru-buru nih, Pak"
"Aduh Mas, ini juga kita udah lewat jalan pintas. Tapi tetep aja,
Mas. Macet. Maklum lah Mas, ini kan malam minggu. Banyak kendaraan dari
luar kota."
Kembali aku terdiam. Mencoba membuang keluh yang kurasakan dalam sebuah hembusan nafas panjang.
Yah... Supir taxi itu berkata nyatanya keadaan. Ini adalah malam
minggu, saat dimana kendaraan dengan plat nomor dari kota lain menjadi
mayoritas dijalanan kota ini. Saat dimana semua orang disarankan untuk
melonggarkan batas kesabaran mereka ketika berada dijalanan.
Aku menurunkan kaca pintu disampingku. Berharap angin malam dapat
sedikit mengendurkan ketegangan dalam sarafku. Seketika, deru laju
kendaraan terdengar jelas dalam rongga telingaku. Hembusan angin meniup
lembut helai rambutku. Temaram lampu kota biaskan rona wajahku. Hiruk
pikuk jalanan Kota Kembang kini dalam indera penglihatanku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain duduk manis dikursi penumpang.
Antrian kendaraan masih terlihat memanjang, sebelum aku tiba dibatas
lampu lalu-lintas. Untuk selanjutnya memasuki antrian baru di lampu yang
lain. Hingga tiba di tempat seharusnya aku berada kini.
Kerlip lampu kota memang mampu sediki membiusku, hingga rasa bosan
sedikit tersingkir dari benakku. Namun kenyataan bahwa aku telah
terlambat membuat saraf di otakku sulit mengendur.
Kunyalakan lighter dalam genggamanku, bermaksud menyulut sebatang
'racun' yang telang aku selipkan terlebih dahulu diantara bibirku.
Mencoba memberi tambahan penenang dalam tubuhku. Menguapkan 'jengah'
yang kurasakan bersama sembulan asap beracun.
Namun belum sempat ujung rokokku terbakar, mataku menangkap
keberadaan benda mungil yang tergeletak disamping kemudi. Lama aku
menatapnya, sebelum akhirnya sebuah senyum tergurat dari bibirku.
"Maaf Pak, itu punya Bapak ?"
"Apa Mas ?"
"Itu yang disamping kemudi Bapak"
"Oh... Bukan Mas, itu punya penumpang sebelum Mas. Kayaknya terjatuh, kenapa, Mas mau ?"
"Hmmm... Saya beli boleh Pak ?"
"Walah... Ga usah Mas, buat si Mas aja, lagian saya ga doyan"
"Beneran Pak. Makasih deh kalo gitu"
Selain binar lampu kota, supir taxi disampingku ini juga mampu
menyingkirkan rasa jenuh dikepalaku. Lelaki yang telah cukup berumur ini
sangat ramah untuk ukuran seorang supir taxi. Kami sedikit berbincang
ditengah kemacetan yang menjebak kami.
Dan dalam genggamanku kini terdapat sebuah benda pemberian Sang
Supir taxi. Sebuah senyum lebar mengembang dari bibirku. Layaknya bocah
yang mendapat sebuah permen. Benda dalam genggaman ku ini memang sebuah
permen. Lollypop lebih tepatnya. Namun sayang, aku bukan lagi seorang
bocah. Meski perasaanku kini tak jauh berbeda dengan seorang bocah.
Kupandangi benda mungil yang harganya tak jauh beda dengan sebatang
'racun' yang tadi akan kuhisap. Kembali kilasan masa lalu berputar
dikepalaku. Adegan dimana ia membujuk ku untuk berhenti merokok dengan
lollypop sebagai gantinya. Lollypop yang sama persis seperti yang aku
pegang kini.
Masih jelas terekam dalam ingatanku senyumnya kala itu. Senyum yang
ia simpulkan ketika mendapati wajahku cemberut setelah ia berhasil
merampas sebungkus racun milikku. "Percayalah, setangkai lollypop ini
mampu memberikan ketenangan lebih dibandingkan sebung racun milik mu
itu." Begitu ia berkata. Luluh aku dibuatnya. Hingga aku berhasil
membuang jauh kebiasaan burukku itu. Namun kini candu akan batang racun
itu kembali dihidupku. Setelah depresi akan kehilangan dirinya
menghinggapiku.
Lama aku terbawa dalam lamunan bersama lollypop dimulutku. Menikmati
manis kandungan gula didalamnya. Merasakan lembut teksturnya. Memahami
unik aromanya. Rasa tenang kini menjalar disaraf otakku. Bersama dengan
datangnya kerinduan yang mendalam terhadap ia yang telah tiada.
Perlahan, satu per satu titik kemacetan telah kami lewati. Menembus
padatnya Jl.Ir.H Djuanda di malam minggu memang bukan persoalan mudah.
Dan kini kakiku telah berpijak pada tanah. Melangkah menuju tempat yang
telah dijanjikan. Dihadapanku berdira tegak bangungan mewah yang
bernuansa minimalis. Sebuah resto yang menjadi primadona para pelancong.
Selain karena masakannya yang terkenal, pemandang yang ditawarkan resto
ini juga menjadi daya tarik utama. Tak heran karena resto ini terletak
di kawasan Dago atas. Dimana panorama kota bandung akan terlihat sangat
indah.
Namun mataku mendapati suatu kejanggalan dihadapanku. Resto ini nampak
sepi. Suatu hal yang sangat jarang terjadi kecuali resto ini dalam
keadaan tidak beroperasi. Segera aku menghubungi Pram.
"Kamu dimana?" ucapku setelah ia menjawab panggilanku.
"Kamu langsung ke resepsionis aja yah. Tanya meja atas nama ku."
"Tapi Pra...m" panggilan pun terputus sebelum kalimat ku selesai
diucapkan. Yah... Walaupun resto ini sepi tapi aku masih melihat ada
seorang resepsionis yang berjaga di pintu masuk. Pertanda bahwa resto
ini tidak dalam keadaan tutup. Segera aku menghampirinya.
"Selamat malam
mba"
"Selamat malam Pak.Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya ramah.
"Meja atas nama Pramudya sebelah mana ya Mba?"
"Bapak ini yang bernama Krisna'?" wanita ini malah bertanya balik
kepadaku.seolah ada banya meja yang dipesan dengan nama Pramudya. Sehingga ia harus memastikannya terlebih dahulu.
"Iya, betul Mba"
"Baiklah. Silahkan ikut saya" wanita itu tersenyum.lalu membawaku ke sebuah pintu yang kutahu bukan pintu utama dari tempat ini.
"Silahkan Pak, Pak Pramudya ada didalam" kemudian ia pergi setelah memberikan senyum ramahnya untukku.
Tanganku pun meraih pegangan pintu, namun kakiku tak mampu untuk ku
gerakan tatkala pintu dihadapanku terbuka dengan sempurna. Tubuhku
membatu ketika mataku mendapati apa yang ada dihadapanku. Silhuet sosok
nya begitu indah diterpa remang purnama, dipadu dengan remang cahaya
lilin yang memenuhi setiap sudut ruangan ini. Dapat kulihat senyum
terlukis diwajahnya. Ia pun bangkit dari duduknya mengulurkan satu dari
tangannya. Mengajakku untuk segera mendekati tubuhnya. Beku tubuh ku pun
perlahan mencair, dan kakiku pun melangkah menghampirinya. Seketika
rongga telingaku menangkap sebuah melodi, intro dari lagu yang sangat
kuhafal.
Heart beats fast
color and promises
how to be brave
how can i love with not affraid
to fall
Suara merdu milik Christina Perry mengalun indah. Mengiringi
langkahku untuk semakin mendekati sosoknya. Kini aku merasa seperti Bella Swan yang sedang berjalan menuju altar dimana Edward Cullen telah
menunggu.
Jarak kami hanya tinggal beberapa langkah. Semakin tegas rupa yang terbias oleh remang cahaya dihadapanku.
One step closer
i have died everyday
waiting for you
darlin dont be affraid
i have love you for a thousand year
i'll love you for a thousand more.
Aku meraih jemari tangan yang ia ulurkan. Menatap lekat setiap lekuk
wajahnya. Dialah Pram, kekasihku kini. Seorang yang telah menggu hatiku
bertahun lamanya. Seorang yang tak pernah sekalipun meninggalkan ku
dalam pilu. Seorang yang sungguh mencintaiku tulus meski tak pernah ada
balas dariku dulu. Yah... Itulah dia. Kini penantiannya tak menjadi
sia-sia, aku menjadi miliknya setelah seorang yang kucintai pergi
selamanya. Kini dia hadir, menjadi pengganti atas masa lalu yang tak kan
kembali.
Dan sekali lagi, ia melakukan hal yang membuat diriku semakin dalam
jatuh pada hatinya. Entah bagaimana ia melakukan semua ini. Seorang pria
menyiapkan candle light dinner yang begitu romantis untuk seorang pria
lagi. Entahlah. Aku tak mau tahu. Yang aku tahu, aku sangat mencintai Pram.
"Ada sebuah kejutan lagi yang aku persiapkan" ucapnya setelah aku
membenamkan tubuhku dalam peluknya. Lalu Pram mengajakku untuk naik ke
lantai dua ruangan ini. Mataku ditutup oleh kain terlebih dahalu olehnya.
Dan baru dibuka setelah kami tiba di lantai dua. Tak ada kata yang terucap
dari mulutnya, hanya sebuah senyum manis yang terlihat. Di ikuti dengan
tangannya yang menunjuk area lantai satu. Aku mengkuti arah
telunjuknya. Dan ASTAGA. Kini aku dibuat benar-benar tak bisa berkata.
Beratus lilin yang menerangi area lantai satu ternyata dirangkai sedemikian
rupa menjadi sebuah untaian kata. Lutut ku lemas menatap nya. Hampir
aku terjauh bila tak ada pembatas yang menjadi penahan tubuhku. Aku
berbalik kearah Pram yang berada disampingku. Kini ia tengah berlutut
dengan kotak beludru biru ditangannya. Isi kotak itu bercayaha diterpa
sinar sang purnama. Lagi, senyum itu terlukis diwajahnya. Hanya sebuah
kalimat yang mampu aku ucapkan.
"I DO"
END
bagus ka..:)
BalasHapusOh My God....eot, sumpah perasaan campur aduk kaka ampe mata juga berkaca2...good luck
BalasHapusAtuuuuuuuuuuun, ceritanya kereeeen. pertama komen di blog atun :-)
BalasHapus