Minggu, 04 Maret 2012

SEBUAH KATA MAAF

SEBUAH KATA MAAF
Maafku…Sesalku…
Akan kubawa hingga raga tak bernyawa…
Maafku…Sesalku…
Bukti kebodohan diri atas cinta…
Maafku…Sesalku…
Aku menangis dalam jiwa…
Aku termenung. Menatap perapian di pojok ruangan. Fikiranku melayang entah kemana. Dan kantuk belum juga mampir di kelopak mataku. Kulirik jam dinding tua yang berada tepat diatas perapian. Berbentuk kotak dengan ukiran kuningan pada bingkainya. Jam tua itu berbisik padaku tentang waktu saat ini. Jam dua pagi lewat lima belas menit. Aku tak pernah sanggup terjaga hingga selarut ini bila sendirian. Walau kafein dalam larutan kopi telah membantuku. Namun kini mataku terjaga hebat, walau temanku hanya segelas bandrek instan. Teman-temanku yang lain telah memulai petualangan mereka di alam mimpi. Nampaknya mereka kelelahan dengan aktifitas mereka masing. Yang disambung dengan perjalanan menuju rumah mewah tempat kami berlibur   3 hari kedepan. Yah..sekarang aku berada disebuah villa mewah yang terletak di pinggiran kota Bandung. Aku dan 7 orang  temanku.
Lamunanku lebur ketika aku mendengar suara pintu tua itu dibuka. Pintu kamar yang terletak dibelakang punggungku sekarang. Aku menoleh. Mendapati sosok pria berjalan melewati daun pintu yang terbuka itu. Mata kami sempat beradu pandang seketika. Segera aku berbalik, kembali pada posisi semula. Menatap perapian. Aku mendengar langkahnya menjauh. Menuju arah dapur. Fikiran kosongku kini mulai terisi. Bayangan Indra hilir-mudik di otaku. Indra. Sosok lelaki yang aku lihat barusan. Indra Prasetya. Sahabat karibku di masa SMA dahulu. Dahulu, sebelum kami berpisah oleh kebodohanku. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya kembali setelah sekian tahun tanpa komunikasi. Keterkejutanku dimulai saat aku tiba ditempat kami berkumpul sebelum berangkat kemari. Begitu juga Indra. Aku dapat melihat rasa heran dimukanya ketika aku datang. Aku yakin, teman-temanku pasti merahasiakan keikutsertaan kami. Mengingat mereka tahu betul hubungan aku dan Indra tidak terlalu baik.
Sosok Indra kini begitu jelas terngiang di kepalaku. Perawakannya berubah. Tak seperti dulu. Saat kami masih tertawa bersama. Hanya kacamata yang masih ia kenakan seperti dulu. Walau bentuknya telah berubah. Badan kurusnya kini telah terisi. Walau tak atletis, namun cukup untuk membuat lelaki sepertiku ingin membenamkan kepalaku didadanya. Kulit coklatnya masih terjaga dengan baik. Dan seraya dengan bertambahnya usia, ketampanannya pun ikut berlipat ganda. Wajah mulusnya menandakan ia selalu merawat diri.
Indra telah kembali ke kamar. Dan meneruskan petualangan mimpinya. Namun benaku tak juga berhenti memikirkannya. Dan sesekali otaku berputar mengingat hubungan aku dan Indra dahulu. Seketika rasa sakit menyeruak di sendi dan tulangku.
****
“Woi bangun!!!! Kalo cuma mau tidur sewa hotel aja, ga usah jauh-jauh sewa villa” suara Radit berhasil menariku ke alam nyata. Aku terdiam, berusaha menunggu sisa kesadaranku terkumpul.
“Sekarang jam berapa Dit?”
 “Jam 11” Radit yang sekarang sedang membuat larutan kopi menjawab pertanyaanku.
“HAH!!!” aku tersentak. “SHIT!!! I’d lost my sunrise!!!” umpatku kesal. Dan nampaknya umpatanku berhasil menumpulkan semua kesadaranku. Aku tertidur dikursi tadi malam. Dan sekarang villa nampaknya sudah kosong.
“Yang lain kemana Dit?”
“Pada mau main ke sawah katanya”
“Kamu ga ikut?’
“Aku baru bangun juga. Sama kaya kamu” kalimat terakhir Radit berhasil membuatku ingin melemparnya dengan bara api di perapian.
Setelah mandi dan sarapan ( makan siang seharusnya ) aku bergegas menyusul teman-temanku yang lain di persawahan. Tak lama aku berjalan, aku dapat menemukan keberadaan mereka. Mereka sedang asik bermain dan bersantai di sebuah saung di tengah hamparan luas taman padi yang sudah menguning. Pemandangan yang sangat indah. Aku juga dapat melihat Indra disana. Mengenakan kaos biru langit dan celana selutut. Hatiku mulai kikuk. Ragu untuk mendekati mereka. Namun Tama telah melihat kedatanganku. Tak mungkin aku berbalik arah dan kembali ke villa. Dan mereka pasti bertanya-tanya atas sikapku, walaupun mereka sudah mengetahui alasan sebenarnya.
“Woi…sialan lu semua. Ninggalin gue” aku berteriak ketika kaki hampir mendekati keberadaan mereka.
“Ya salah lu sendiri. Tidur kaya kebo!!” Lisa menimpal sapaanku.
“Eh…foto yu” kali ini Ikbal bersuara.
Kami berkumpul, berpose di hadapan kamera digital milik Ikbal. Jepret…jepret…jepret… tanpa disadari posisiku tepat disamping Indra sekarang. Karena dari jepretan pertama kami selalu pindah posisi. Aku dibuat kikuk dengan keadaan seperti ini. Begitu pula dengan Indra. Kami tak fokus pada kamera Ikbal. Benar saja. Ketika Ikbal memperlihatkan hasil jepretan kameranya, ekspresi kami benar-benar tak karuan. Dan yang lebih parah lagi, ternyata Ikbal hanya memasukan kami berdua di foto itu. Sontak tawa dan sindiran tak terelakan. Kulihat wajah Indra memerah. Dan sesekali membalas sindiran mereka.
Hari mulai sore, dan nampaknya langit malam ingin segera menyapa kami. Kami segera pulang, menyudahi menikmati hari pertama liburan kami. Kami berjalan beriringan di sebuah pematang sawah. Aku berjalan tepat di depan Indra yang memiliki posisi terkahir barisan. JEPRUT!!! Tali sandalku putus, aku yang tak memperhatikan jalan karena sedang memperhatikan tingkah konyol teman-temanku, tiba-tiba terjatuh karena hilang keseimbangan. Namun badanku tak sampai menyentuh tanah, seseorang dibelakang menyelamatkanku. Indra menahan tubuhku agar tak terjatuh. Cukup lama kami berada dalam posisi sinetron seperti ini. Hatiku bergetar ketika melihat mata indra yang sedang memandang mataku. Aliran listrik seperti mengalir diantara mata kami. GOD!!!!
****
Hari ini terasa begitu cepat berlalu. Adzan Isya telah berkumandang satu jam yang lalu. Teman-temanku yang lain tengah asik bermain kartu di ruang tengah. Sedangkan aku memilih menyendiri, menikmati indahnya bulan yang bersinar penuh di langit hitam. Dan sampai detik ini aku belum bisa mengusir bayangan Indra dibenaku. Aku tersenyum mengingat kedekatan kami dahulu. Banyak hal konyol yang kami lakukan bersama. Aku posisikan Indra sebagai seorang kakak yang bijaksana dan dewasa. Sedangkan aku yang manja, selalu merengek pada Indra. Semakin lama kedekatan kami ternyata menumbuhkan rasa yang salah dihatiku. Dan semakin lama rasa ini semakin kuat. Semakin tak dapat ku bendung.
“KLIK”
Seseorang telah menjentikan jarinya tepat di depan mukaku. Dan menggiring kesadaranku kembali ke dalam raga. Aku menoleh.
“Hei..ngapain sendirian?” senyum manisnya mengembang. Kumpulan nyawaku terberai kembali. Mendapati sosok dihadapanku sekarang. Indra. Yah Indra datang menghampiriku. Dan menyapaku tentunya. Aku tak percaya. Setelah sekian lama, ternyata dia masih mau berbicara denganku. Keadaan yang aku tunggu selama kurun waktu 3 tahun lebih kini terjadi. Lama aku terpaku dalam ketidak percayaanku. Keadaanku membuat Indra kembali menjentikan jarinya.
“Haloooo…”
“Eh..iya..apa…kenapa” aku gugup. Tak dapat menguasai diriku. Dalam hati aku mengumpat kebodohanku. Dan Indra hanya tersenyum manis.
“Bengong aja. Ntar kesambet loh” kini Indra duduk disampingku. Dan aku hanya mampu sanggup tersenyum kikuk, tak membalas sapaan Indra. Sejenak kami terdiam, menatap indahnya purnama malam.
“Apa kabar?” nampaknya Indra memulai pembicaraan.
“Baik. Kamu?”
“Sangat baik. Ga gabung sama yang lain?”
“Ga ah. Disini aja. Jarang dapat kesempatan seperti ini dikota. Kamu sendiri?” aku membalikan pertanyaan. Otaku beku tak dapat memikirkan pertanyaan lain.
“Bosen” sebuah jawaban singkat.
“Sekarang kamu kerja atau kuliah?” aku benar-benar berusaha mencairkan suasana.
“Dua-duanya. Kamu?”
“Kerja aja”
Dan selanjutnya sedikit demi sedikit tembok besar yang menghalangi kami perlahan roboh. Tak terasa lagi perasaan canggung yang selalu hadir bila kami bersama. Banyak hal yang kami bicarakan malam mini. Pengalaman kami bekerja, perkuliahan Indra, desa tempat kami berlibur, bahkan sampai berita tentang artis ibukota tek lepas dari topik pembicaraan kami. Namun tak sedikitpun kami menyinggung masa lalu.
Tak terasa malam telah larut. Suara gaduh diruang tengah menjadi sunyi. Kelopak mataku pun kini terasa berat. Dan esok hari aku tak ingin kembali terlewat indahnya matahari terbit.
“Uhm…aku duluan yah.” Aku mencoba pamit pada Indra.
“Udah gantuk?”
“iya… lagi pula aku tak ingin ketinggalan sunrise seperti tadi pagi”
“Owh..ok”
“Good nite”
“Nite too. Sleep well” senyum indahnya kembali mengembang. Aku balas senyumnya sebelum aku beranjak menjauhinya, dan mendekati kasur empuk miliku selama 3 hari ini. Rupanya mataku tak dapat langsung menutup. Bayangan Indra masih tak ingin meninggalkan kepalaku. Aku tersenyum sendiri. Bahagiaku kini tak dapat kutuliskan.
****
Pukul 5 pagi alarm telah membangunkanku. Aku benar-benar tak ingin melewatkan sunrise pagi ini. Segera aku bersiap, menunggu mentari muncul dibalik Gunung Mayit. Aku kembali terkejut. Tiba-tiba Indra muncul, membawa dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Aku sedikit heran, darimana ia mendapat pisang goreng di pagi buta seperti ini.
“Morning” sapanya seraya menyimpan bawaannya. Sapaannya terasa begitu mesra di telingaku.
“Morning too” aku menjawab. Disusul dengan senyum terbaiku.
“It’s a beautiful morning, right?”
“Yeah” jawabku. With you beside me. Gumamku dalam hati.
Perlahan bola kuning kemerah-merahan mulai merangkak naik di balik pegunungan. Perlahan tapi pasti. Hangatnya sinar mentari, perlahan mengusir dinginnya embun pagi hari. Sesaat mataku bertingkah nakal. Melirik makhluk indah disampingku. Aku dapat melihat wajahnya bercahaya diterpa sinar sang surya. Aku terpaku. Menikmati indahnya karya tangan Tuhan yang terwujud pada makhluk disampingku. Hatiku bertanya. Apakah perasaan yang telah aku kubur bertahun-tahun lamanya ini telah bangkit kembali. Layaknya surya yang sedang kami pandangi. Namun apakah kini rasa itu mampu menerangi hidupku dan menghangatkan jiwaku. Ataukah akan terulang kembali deritaku dulu. Ketika rasa ini menggelapkan seluruh duniaku. Perasa dan logika bergulat hebat di otaku. Tiba-tiba Indra melirik ke arahku. Menagkap basah diriku yang sedang menatap indah wajahnya. Dia tersenyum manis. Membuatku semakin salah tingkah.
****
“Ndra, tolong beliin lampu dong” pinta Radit pada Indra.
“Lampu buat paan?”
“Lampu buat ruang tengah. Tadi pagi putus. Lu ga mau kan malam terakhir kita disini kita gelap-gelapan” Radit menjelaskan.
“Kenapa bukan lu aja yang beli? Atau Ikbal? Atau Tama? Kenapa mesti gue??” Indra protes.
“Ya kan lu tau kaki gue masih bengkak gara-gara jatuh di sungai tadi. Ikbal sama Tama lagi nganter Tantri sama Lisa liat kebun kol. Keburu malem kalo nunggu mereka pulang” dengan detail Radit menjelaskan.
“Iya deh” Indra mendengus malas.
“Ki, anterin yu beli lampu” kini Indra mendatangiku yang sedang duduk menikmati langit sore. Dari tempatku berada sekarang aku dapat mendengar percakapan Indra dan Radit dengan jelas. Jadi aku tak perlu kembali bertanya pada Indra. Aku langsung mengangguk setuju saja. Kasian juga kalau Indra harus pergi sendiri.
Kami segera berangkat setelah sedikit bersiap. Kami mencari warung terdekat. Namun nampaknya warung sekitar villa hanya menyediakan sembako. Terpaksa kami harus mencari mini market di pintu masuk desa. Aku melihatnya kemarin ketika sampai disini.
Batuan tanpa aspal sedikit menyulitkan perjalanan kami. Aku yang dibonceng takut tubuh kecilku terhempas ke batuan itu. Aku mencengkram kuat pegangan motor samping. Indra yang menjalankan motor sedikit kencang tak menyadari lubang dihadapannya. Alhasil tubuhku tersentak setelah motor mengenai lubang itu. Refleks cengkramanku berubah posisi. Kini kedua tanganku melingkar di perut Indra. Tak tahan dengan posisi ini, aku segera menarik tanganku. Namun, sebelum tanganku kembali seperti semula, Indra berasil mencegahya. Kini tangan Indra bertumpuk diatas jemariku.
Kami telah mendapat barang buruan kami. Segera kami kembali pulang. Namun rintangan tak hentinya menerpa perjalanan kami. Kali ini hujan berhasil membuat kami mampir di sebuah warung bajigur.
“Ki..”
“Iya”
“Maafin aku yah” aku menoleh. Senyum indah kembali hadir.
“Maaf buat apa?”
“Maaf untuk sikapku dulu padamu” kalimat ini diucapkan Indra perlahan. Berbeda dengan maaf sebelumnya yang masih diiringi senyum. Indra tertunduk. Wajahnya mendung seperti langit saat ini. Akupun tak menyangka, kata maaf itu akan keluar dari mulutnya. Sekali lagi. Aku teringat saat itu. Saat aku dan Indra duduk di kelas 2. Saat aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Saat aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilanganya. Perhatian yang ia tunjukan padaku membuatku berpikir bahwa ia memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan. Dengan berbekal keberanian dan pengharapan, aku putuskan untuk mengakui semua perasaanku pada Indra. Namun ternyata aku salah langkah. Nampaknya ini tak sperti yang aku harapkan. Bukan balasan cinta yang aku dapatkan. Malah kenyataan pahit dimana sahabat terbaiku kini menjauh. Menjauh meninggalkanku bersama cinta yang tak terbalas. Ironis. Cintaku ditolak tanpa ada sepatah katapun kalimat penolakan yang aku dapatkan. Indra hanya diam. Dan diamnya telah meleburkan mimpku.
“ Ga ada yang perlu di maafin Ndra. Wajar bila sikap kamu seperti itu dulu. Aku ngerti” aku berusaha memberi jawaban terbaik.
“Apakah rasa cinta untuku masih ada dihatimu saat ini?” kali ini Indra membuat hangatnya bajigur yang aku minum terasa bagai air mendidih yang mengalir menuju pusat nadiku. Aku terdiam. Pertanyaan Indra membuat lidahku kelu.
“Apa kamu masih mencintaiku?” Indra kembali bertanya. Tak sabar menunggu jawabanku.
“Apakah penting buat kamu apa yang aku rasakan? Rasa itu masih ada atau telah tiada tak kan merubah keadaan atau membalikan apa yang telah terjadi kan??!!” entah kenapa hatiku mulai panas. Amarah mulai terasa di darahku. Borok dalam hatiku kini kembali basah.
“Tapi seenggaknya kita bisa mulai dari awal lagi”
“Maksud kamu??!!”
“Aku mencintaimu Ki. Aku mencintaimu sejak dulu kala.” Kilatan petir dilangit mendung kini terasa menyambar hatiku. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakan Indra.
“Cinta???Sebenarnya maksud kamu apa sih??” suaraku terbata. Cairan bening mulai menggenangi mataku.
“Aku cinta kamu Ki. Cinta yang hadir seiring kebersamaan kita dulu. Aku sungguh-sungguh mencintaimu” kini tanganku dalam genggaman Indra.
“BULLSHIT!!!!!” ku hempaskan genggaman Indra. “ kalau kamu mencintaiku, kamu ga akan jauhi aku. Kalau kamu mencintai aku kamu akan memeluku ketika aku menyatakan cintaku.” Kini aku benar-benar menangis.
“Aku tahu. Aku salah. Tolong maafin aku. Waktu itu aku takut dengan semua perasaan aneh ini. Tolong maafin aku. Kamu harus tahu, aku juga merasakan sakit, sama seperti yang kamu rasakan”
“Ngga!!! Kamu ga tahu apa-apa tentang rasa sakit ini. Kamu ga tahu gimana perjuangan aku untuk ngubur rasa sakit ini. Kamu ga tahu dan ga pernah tahu!!!!” aku menangis. Suaraku terbata. Nafasku tersenggal. Dan hati ini kembali meringis. Indra hanya terdiam. Tertunduk. Suasana hening, tak ada lagi pembelaan yang diucapkan Indra.
“Apakah tak ada lagi kesempatan untuku? Apakah perbuatanku telah benar-benar menghancurkan cintamu?” pelan aku mendengar bibir Indra berucap dibalik tunduk kepalanya. Diriku yang telah dapat mengotrol diri mencoba menjawab dengan tenang.
“Cintaku untukmu tak kan pernah hilang. Cinta ini terpatri sangat kuat direlung hatiku. Dulu hingga sekarang. Dan kata maaf yang kau ucapkan, adalah anugerah untukku. Jujur, aku teramat sangat bahagia atas cinta yang kamu ungkapkan. Cinta yang aku nanti sejak hati ini mengenal cinta. Aku pun berharap dapat memadu kasih denganmu. Namun aku tak ingin cintaku dibayangi oleh kelam yang telah terjadi. Bukan maksudku untuk membalas perlakuanmu dahulu. Aku hanya bosan dengan rasa sakit ini. Pergilah. Lepaskan cintaku. Raih cinta terbaikmu, bersama orang yang lebih baik dariku.” Kini Indra ikut meneteskan air mata.
“Sebaiknya kita segera pulang. Aku ga mau yang lain mengkhawatirkan kita.” Aku melanjutkan. Dan aku segera beranjak meninggalkan warung, setelah membayar apa yang kami pesan pada penjaga warung yang sedari tadi setia menonton pertengkaran aku dan Indra.
Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami selama perjalanan pulang. Begitu pula hingga liburan kami berakhir. Teman-temanku yang tampak keheranan, tak berani bertanya tentang apa yang terjadi. Mereka diam. Dan berbicara dibelakang kami.
 Setibanya aku dirumah, aku mendapat sebuah pesan. Yang berisi:
“ Jika aku tak dapat memasuki kehidupanmu sebagai pasangan jiwamu. Maka terimalah diriku sebagai teman masa mudamu. Nb: save no aku yah. Indra Prasetya” aku tersenyum membaca pesan dari Indra. Segera aku membalas “ U’ll always be my friend. My best friend. Forever!!”