Rabu, 18 Juli 2012

ONE STEP CLOSER

Kembali aku melihat benda bundar yang terikat di pergelangan tangan kiriku. Entah sudah berapa kali aku melihatnya selama kurang lebih satu jam ini. Dua jarum di dalamnya terus berputar, pertanda aku telah membuang waktuku dengan percuma. Tidak. Bukan aku, melainkan keadaan lah yang telah membuang waktu yang kumiliki.
Satu jam telah berlalu, dimulai dari taxi yang kupesan tiba di depan pagar rumahku. Seharusnya kini aku telah berada ditempat yang akan kutuju. Namun kenyataannya setengah perjalanan pun belum aku tempuh.

"Pak, bisa cari jalan alternatif lain ? Saya buru-buru nih, Pak"

"Aduh Mas, ini juga kita udah lewat jalan pintas. Tapi tetep aja, Mas. Macet. Maklum lah Mas, ini kan malam minggu. Banyak kendaraan dari luar kota."

Kembali aku terdiam. Mencoba membuang keluh yang kurasakan dalam sebuah hembusan nafas panjang.
Yah... Supir taxi itu berkata nyatanya keadaan. Ini adalah malam minggu, saat dimana kendaraan dengan plat nomor dari kota lain menjadi mayoritas dijalanan kota ini. Saat dimana semua orang disarankan untuk melonggarkan batas kesabaran mereka ketika berada dijalanan.

Aku menurunkan kaca pintu disampingku. Berharap angin malam dapat sedikit mengendurkan ketegangan dalam sarafku. Seketika, deru laju kendaraan terdengar jelas dalam rongga telingaku. Hembusan angin meniup lembut helai rambutku. Temaram lampu kota biaskan rona wajahku. Hiruk pikuk jalanan Kota Kembang kini dalam indera penglihatanku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain duduk manis dikursi penumpang. Antrian kendaraan masih terlihat memanjang, sebelum aku tiba dibatas lampu lalu-lintas. Untuk selanjutnya memasuki antrian baru di lampu yang lain. Hingga tiba di tempat seharusnya aku berada kini.

Kerlip lampu kota memang mampu sediki membiusku, hingga rasa bosan sedikit tersingkir dari benakku. Namun kenyataan bahwa aku telah terlambat membuat saraf di otakku sulit mengendur.

Kunyalakan lighter dalam genggamanku, bermaksud menyulut sebatang 'racun' yang telang aku selipkan terlebih dahulu diantara bibirku. Mencoba memberi tambahan penenang dalam tubuhku. Menguapkan 'jengah' yang kurasakan bersama sembulan asap beracun.
Namun belum sempat ujung rokokku terbakar, mataku menangkap keberadaan benda mungil yang tergeletak disamping kemudi. Lama aku menatapnya, sebelum akhirnya sebuah senyum tergurat dari bibirku.

"Maaf Pak, itu punya Bapak ?"

"Apa Mas ?"

"Itu yang disamping kemudi Bapak"

"Oh... Bukan Mas, itu punya penumpang sebelum Mas. Kayaknya terjatuh, kenapa, Mas mau ?"

"Hmmm... Saya beli boleh Pak ?"

"Walah... Ga usah Mas, buat si Mas aja, lagian saya ga doyan"

"Beneran Pak. Makasih deh kalo gitu"

Selain binar lampu kota, supir taxi disampingku ini juga mampu menyingkirkan rasa jenuh dikepalaku. Lelaki yang telah cukup berumur ini sangat ramah untuk ukuran seorang supir taxi. Kami sedikit berbincang ditengah kemacetan yang menjebak kami.
Dan dalam genggamanku kini terdapat sebuah benda pemberian Sang Supir taxi. Sebuah senyum lebar mengembang dari bibirku. Layaknya bocah yang mendapat sebuah permen. Benda dalam genggaman ku ini memang sebuah permen. Lollypop lebih tepatnya. Namun sayang, aku bukan lagi seorang bocah. Meski perasaanku kini tak jauh berbeda dengan seorang bocah.
Kupandangi benda mungil yang harganya tak jauh beda dengan sebatang 'racun' yang tadi akan kuhisap. Kembali kilasan masa lalu berputar dikepalaku. Adegan dimana ia membujuk ku untuk berhenti merokok dengan lollypop sebagai gantinya. Lollypop yang sama persis seperti yang aku pegang kini.
Masih jelas terekam dalam ingatanku senyumnya kala itu. Senyum yang ia simpulkan ketika mendapati wajahku cemberut setelah ia berhasil merampas sebungkus racun milikku. "Percayalah, setangkai lollypop ini mampu memberikan ketenangan lebih dibandingkan sebung racun milik mu itu." Begitu ia berkata. Luluh aku dibuatnya. Hingga aku berhasil membuang jauh kebiasaan burukku itu. Namun kini candu akan batang racun itu kembali dihidupku. Setelah depresi akan kehilangan dirinya menghinggapiku.
Lama aku terbawa dalam lamunan bersama lollypop dimulutku. Menikmati manis kandungan gula didalamnya. Merasakan lembut teksturnya. Memahami unik aromanya. Rasa tenang kini menjalar disaraf otakku. Bersama dengan datangnya kerinduan yang mendalam terhadap ia yang telah tiada.
Perlahan, satu per satu titik kemacetan telah kami lewati. Menembus padatnya Jl.Ir.H Djuanda di malam minggu memang bukan persoalan mudah. Dan kini kakiku telah berpijak pada tanah. Melangkah menuju tempat yang telah dijanjikan. Dihadapanku berdira tegak bangungan mewah yang bernuansa minimalis. Sebuah resto yang menjadi primadona para pelancong. Selain karena masakannya yang terkenal, pemandang yang ditawarkan resto ini juga menjadi daya tarik utama. Tak heran karena resto ini terletak di kawasan Dago atas. Dimana panorama kota bandung akan terlihat sangat indah.
Namun mataku mendapati suatu kejanggalan dihadapanku. Resto ini nampak sepi. Suatu hal yang sangat jarang terjadi kecuali resto ini dalam keadaan tidak beroperasi. Segera aku menghubungi Pram.

"Kamu dimana?" ucapku setelah ia menjawab panggilanku.

"Kamu langsung ke resepsionis aja yah. Tanya meja atas nama ku."
"Tapi Pra...m" panggilan pun terputus sebelum kalimat ku selesai diucapkan. Yah... Walaupun resto ini sepi tapi aku masih melihat ada seorang resepsionis yang berjaga di pintu masuk. Pertanda bahwa resto ini tidak dalam keadaan tutup. Segera aku menghampirinya.
"Selamat malam mba"

"Selamat malam Pak.Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya ramah.

"Meja atas nama Pramudya sebelah mana ya Mba?"

"Bapak ini yang bernama Krisna'?" wanita ini malah bertanya balik kepadaku.seolah ada banya meja yang dipesan dengan nama Pramudya. Sehingga ia harus memastikannya terlebih dahulu.

"Iya, betul Mba"

"Baiklah. Silahkan ikut saya" wanita itu tersenyum.lalu membawaku ke sebuah pintu yang kutahu bukan pintu utama dari tempat ini.

"Silahkan Pak, Pak Pramudya ada didalam" kemudian ia pergi setelah memberikan senyum ramahnya untukku.
Tanganku pun meraih pegangan pintu, namun kakiku tak mampu untuk ku gerakan tatkala pintu dihadapanku terbuka dengan sempurna. Tubuhku membatu ketika mataku mendapati apa yang ada dihadapanku. Silhuet sosok nya begitu indah diterpa remang purnama, dipadu dengan remang cahaya lilin yang memenuhi setiap sudut ruangan ini. Dapat kulihat senyum terlukis diwajahnya. Ia pun bangkit dari duduknya mengulurkan satu dari tangannya. Mengajakku untuk segera mendekati tubuhnya. Beku tubuh ku pun perlahan mencair, dan kakiku pun melangkah menghampirinya. Seketika rongga telingaku menangkap sebuah melodi, intro dari lagu yang sangat kuhafal.

Heart beats fast
color and promises
how to be brave
how can i love with not affraid
to fall

Suara merdu milik Christina Perry mengalun indah. Mengiringi langkahku untuk semakin mendekati sosoknya. Kini aku merasa seperti Bella Swan yang sedang berjalan menuju altar dimana Edward Cullen telah menunggu.
Jarak kami hanya tinggal beberapa langkah. Semakin tegas rupa yang terbias oleh remang cahaya dihadapanku.

One step closer
i have died everyday
waiting for you
darlin dont be affraid
i have love you for a thousand year
i'll love you for a thousand more.

Aku meraih jemari tangan yang ia ulurkan. Menatap lekat setiap lekuk wajahnya. Dialah Pram, kekasihku kini. Seorang yang telah menggu hatiku bertahun lamanya. Seorang yang tak pernah sekalipun meninggalkan ku dalam pilu. Seorang yang sungguh mencintaiku tulus meski tak pernah ada balas dariku dulu. Yah... Itulah dia. Kini penantiannya tak menjadi sia-sia, aku menjadi miliknya setelah seorang yang kucintai pergi selamanya. Kini dia hadir, menjadi pengganti atas masa lalu yang tak kan kembali.

Dan sekali lagi, ia melakukan hal yang membuat diriku semakin dalam jatuh pada hatinya. Entah bagaimana ia melakukan semua ini. Seorang pria menyiapkan candle light dinner yang begitu romantis untuk seorang pria lagi. Entahlah. Aku tak mau tahu. Yang aku tahu, aku sangat mencintai Pram.

"Ada sebuah kejutan lagi yang aku persiapkan" ucapnya setelah aku membenamkan tubuhku dalam peluknya. Lalu Pram mengajakku untuk naik ke lantai dua ruangan ini. Mataku ditutup oleh kain terlebih dahalu olehnya. Dan baru dibuka setelah kami tiba di lantai dua. Tak ada kata yang terucap dari mulutnya, hanya sebuah senyum manis yang terlihat. Di ikuti dengan tangannya yang menunjuk area lantai satu. Aku mengkuti arah telunjuknya. Dan ASTAGA. Kini aku dibuat benar-benar tak bisa berkata. Beratus lilin yang menerangi area lantai satu ternyata dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah untaian kata. Lutut ku lemas menatap nya. Hampir aku terjauh bila tak ada pembatas yang menjadi penahan tubuhku. Aku berbalik kearah Pram yang berada disampingku. Kini ia tengah berlutut dengan kotak beludru biru ditangannya. Isi kotak itu bercayaha diterpa sinar sang purnama. Lagi, senyum itu terlukis diwajahnya. Hanya sebuah kalimat yang mampu aku ucapkan.
"I DO"

END

Minggu, 08 Juli 2012

BAGAS

BAGAS

“HAPPY BIRTHDAY, SWEETHEART!.” Bibir tipisnya berucap dengan kedua telapak tangan memangku birthday cake yang dibawanya. Kesadaranku belum pulih benar, karena ditarik paksa dari kerajaan mimpiku. Tepat pukul 12, Dira mengetuk pintu kostanku. Dira adalah kekasihku. Lelaki tampan yang telah mapan ini telah merenggut hatiku sejak setahun yang lalu. Dalam setengah kesadaranku dan remang pandanganku, aku masih tetap bisa melihat keindahan wajahnya. Bersinar dalam redupnya cahaya lilin diatas birthday cake ditangannya.
“Kok malah bengong sih? Tiup dong lilinnya, keburu abis ntar.” Aku tersadar dari lamunanku, dan segera meniup lilin berbentuk angka 2 dan 6 itu. Menyembulkan asap harapan yang kan terbawa oleh angin hingga terbawa ke pangkuan Sang Pengabul Harapan. Dira mencium keningku, dan mengucap do’a untuk yang terbaik dalam hidupku. Amin.
“Di, kita mau kemana sih?”
“Ntar juga kamu tahu. Sabar yah.” Tatapan Dira tak berubah, tetap lurus memandang jalan dan berkonsentrasi dengan kemudi dalam genggamannya. Melihat medan jalan, memang sudah seharusnya Dira fokus pada laju mobilnya. Dan salahku yang terus bertanya. Sebaiknya aku biarkan Dira, kupalingkan pandanganku, menatap indahnya panorama pegunungan. Empat jam waktu perjalanan telah kami tempuh. Dan kami telah terbebas dari hiruk pikuk perkotaan. Beban kehidupan yang senantiasa menggelayut terasa pudar ketika mataku menatap hijaunya pepohonan. Terasa segar ketika hidungku menghirup udara yang minim polusi.
Sedari tadi aku mengamati jalan yang kami lalui, jalan yang menanjak dengan tebing terjal di salah satu sisinya. Beberapa kali kami melewati pemukiman warga yang terpisah oleh hutan antara pemukiman satu dengan yang lainnya. Jujur aku belum pernah kesini. Dan akupun tak tahu nama dari daerah ini. Rasa penasaranku kumat lagi, aku berbalik hendak bertanya pada Dira, namun gerak tubuhku terhenti ketika Dira juga menghentikan laju mobilnya. Tepat di depan sebuah rumah.
“Udah nyampe. Turun yu.” Tanpa mendengar persetujuanku, Dira telah membuka pintu mobil dan mengeluarkan badannya. Dan akupun melakukan hal yang sama. Seketika dinginnya angin pegunungan memaksa masuk kedalam tubuhku, menerobos pertahanan dari jaket yang aku kenakan. Terik mentari tak terasa menyengat. Meski sekarang siang bolong, namun hanya hangat yang terasa. Kuedarkan pandanganku. Kuputar tubuhku. Menatap kesetiap pelosok dihadapanku. Indah. Hanya kata itulah yang terucap lirih dari bibirku. Guratan tinta lukisan Sang Pencipta.
Kini aku menatap bangunan dihadapanku. Sebuah rumah. Rumah panggung lebih tepatnya. Namun rumah ini terlihat lebih mewah dari rumah panggung yang biasanya terletak di pedesaan. Anyaman bambu yang diberi nama bilik itu terlihat masih baru. Kokoh menjadi dinding rumah. Atap gentingnya pun masih mengkilat diterpa sinar mentari.
“KLIK!”
Seseorang menjentikan jarinya tepat didepan hidungku. Mengacaukan analisaku yang berupa lamunan.
“Kok bengong sih? Ini kejutan yang aku maksud. Kamu suka ngga?” aku menoleh kearah suara itu berasal. Aku hanya tersenyum. Kuberikan senyum terbaik yang kumiliki, sebagai jawaban atas pertanyaannya. Menggantikan rasa bahagia dalam hatiku yang tak mampu kuungkap dalam deretan kata.
“Love you too, sweetheart!” ucapnya, seolah ia bisa membaca pikiranku. Aku mengikuti gerak langkah Dira yang kini berjalan didepanku. Menyusuri jalan menuju pintu rumah. Arah jalanku tegak lurus, namun tidak dengan arah pandanganku. Mataku terus menjelajah menikmati indahnya panorama disekelilingku. Tiba-tiba pandanganku terpaku, ketika melihat sosok yang sedang duduk tenang dikursi yang terletak di pekarangan rumah. Pekarangan itu terletak disisi samping rumah. Berupa hamparan rumput hijau dengan satu buah kursi panjang bercat putih di ujungnya. Sosok itu nampak dengan tenang memandang ke arah ladang sawah dan pedesaan dibawahnya. Rumah ini memang terletak dibagian atas, dan tepat bagian pinggir. Sehingga bagian belakang dan samping rumah ini adalah jurang.
BUGH!
Aku terjatuh, karena asik memandangi sosok itu, aku jadi tidak memperhatikan jalan. Alhasil kakiku tersandung batu. Ternyata Dira telah terlebih dahulu memasuki rumah. Setelah berhasil berdiri aku kembali menoleh kearah sosok tadi berada, namun nihil, sosok itu telah menghilang. Kulebarkan arah pandanganku, namun ia telah benar-benar menghilang.
***
Kulihat jam yang terpasang tepat diatas jendela. Sudah malam ternyata. Aku menggeliat, meregangkan otot-otot dalam tubuhku. Kupandangi sosok yang kini tengah tertidur disampingku. Dira. Kekasihku. Nampak begitu damai menjelajahi alam bawah sadarnya. Nampaknya ia kelelahan dengan perjalanan kami tadi, ditambah dengan ‘aksi liar’ kami sore harinya. Betapa bahagianya diriku saat ini. Hidupku begitu sempurna diatas ketidak sempurnaanku. Aku beranjak dari tempat tidur. Berjalan menuju jendela. Kusibakan tirai berwarna marun penutup kaca. Lagi, mataku dimanjakan oleh pemandangan dihadapanku. Bulan penuh menghiasi gelapnya langit malam. Remang sinarnya menerpa hamparan rumput hijau pekarangan. Dapat kurasakan ketenangan merasuk dalam kalbuku. Kututup kembali tirai marun itu, aku ingin keluar, menikmati terpaan sinar rembulan.
Secangkir cappuccino instan kini dalam jemariku. Kulangkahkan kaki menuju kursi putih di pekarangan. Namun langkahku terhenti ketika aku melewati pintu rumah. Sosok itu kembali hadir, duduk tenang menatap purnama. Ini kali kedua aku melihatnya. Dan untuk kedua kalinya pula aku merasakan sesuatu dalam tubuhku. Sebuah rasa yang menarikku ingin terus menatapnya. Bahkan rasa itu semakin kuat kurasakan kini. Menarik kakiku agar melangkah menghampirinya. Dan rasa itu berhasil, membuatku tegak berdiri tepat disampingnya sekarang. Namun ia tak bergeming. Seolah tak menyadari kehadiranku. Bola matanya tetap menatap bulatnya purnama.
Dinginnya cappuccino dalam cangkir yang kugenggam menjadi pertanda lamanya kami terpaku dalam posisi seperti ini. Akhirnya dia menyerah, dia menoleh kearahku. Sempat aku terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba. Namun tatapannya mampu menenangkanku. Ekspresi wajahnya begitu datar, namun tatapannya begitu lembut dan tenang. Kuposisikan diriku duduk disampingnya, mengikuti arah pandangannya menatap sang purnama.
“Siapa namamu?”
“Bagas.” Ia menjawab tanpa menoleh kearahku. “Namaku Wisnu.” Dan kami kembali terdiam, menikmati indahnya atap dunia.
***
Satu minggu waktu liburan aku dan Dira telah berakhir. Dan besok kami akan kembali pada rutinitas. Senja terakhir kami disini diwarnai rintik pembawa pelangi bila diterpa mentari. Kueratkan pelukanku. Kurapatkan tubuhku. Menikmati kehangatan dan kenyamanan dalam tubuhnya.
“Apakah hadiahku cukup membuatmu bahagia?” sebuah pertanyaan terlontar dari bibir yang sebelumnya telah mencium mesra keningku.
“Apakah perlu aku menjawab pertanyaanmu?”
“Tentu”
“Tiada suatu apapun yang kau berikan mampu membuatku cukup bahagia. Namun cinta dan dirimu mampu membuatku merasakan lebih dari sekedar cukup kebahagiaan.” dan sekali lagi Dira mencium keningku.
Mentari senja kembali bersinar. Membiaskan setiap gemercik rintik. Menggaris pola warna diangkasa. Dan menghapus kelabu dilangit senja.
***
Kembali aku menatap kursi putih itu, beserta sosoknya. Ini adalah malam terakhir aku bisa menatap teduh matanya. Tak terasa satu minggu telah menjadi waktu perkenalan kami. Dan selama satu minggu ini ia selalu menemaniku. Menatap indahnya ladang bintang.
Seperti biasa, tubuhnya terpaku. Pandangannya tertuju tak beralih. Aku mendekatinya dan duduk disampingnya. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Dia akan selalu diam seolah aku tak nampak dalam pandangannya.
Bagas. Satu-satunya kata yang pernah keluar dari mulutnya. Kata berupa nama yang diberikan padanya ketika ia terlahir di dunia. Nama yang masih melekat pada dirinya meski ia telah terlepas dari alam nyata. Dengan kemampuan yang Tuhan berikan padaku, seringkali aku dapat melihat sosok seperti Bagas. Sosok-sosok yang terkadang membuatku berteriak histeris. Atau terkadang sosok yang memaksa masuk kedalam tubuhku dan mengusir jiwaku. Sosok yang sangat aku hindari keberadaannya. Namun tidak dengan Bagas. Sosok ini sama sekali tidak membuatku takut. Teduh matanya, tenang raut wajahnya, membuatku selalu nyaman disampingnya. Dia adalah temanku menghabiskan malam.
Lama kami terdiam dalam pandangan masing-masing. Tidak, bukan kami, melainkan aku. Karena selama kami bersama tak pernah ia berucap, selain mengucap namanya tempo hari. Biasanya aku yang aktif berbicara, bercerita segala hal yang aku alami. Tak ada tanggapan darinya, selain sebuah senyuman indah dari bibirnya. Dan seingatku, dia juga hanya tiga kali melakukannya. Selebihnya ia hanya diam.
Kualihkan pandanganku, menatap rupa seindah purnama. Namun Bagas tertunduk, suatu hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dan… ia terisak.
“Hei..kamu kenapa?” tanyaku cemas. Cemas untuk diriku sendiri lebih tepatnya. Suasana disekeliling kami mulai terasa berbeda. Bulu kudukku terasa mengembang, dan ada sedikit rasa takut yang mulai menyerbu diriku. Bagas tetap terisak dalam tunduknya. Isakan yang tak menghasilkan butiran air dari matanya. Sosok seperti Bagas memang tak mampu untuk mengeluarkan air mata, hanya suara tangisan mereka yang tercipta.
Beberapa kali aku bertanya padanya. Namun ia tetap tak bergeming, hingga ku tak tahu harus berbuat apa lagi. Kini aku hanya diam memandangnya.
“Tulungan abdi (tolongin saya)” tiba-tiba bagas berucap ditengah isakannya. Aku tersentak. Desiran hebat menjalar disekujur tubuhku. Suaranya telah mengahantarkan rasa yang selama ini kuhindari. Rasa yang tak pernah aku temui sejak pertama aku melihatnya. Takut. Yah… kini aku ketakutan. Kini Bagas tengah menatapku. Mulutnya terus berucap. Melafalkan kata yang serupa, tak berganti. “tulungan abdi…tulungan abdi”. Aku tak mampu lagi berkata. Tubuhku membatu. Menatap wajah sosok dihadapanku. Kulit wajahnya tampak lebih pucat, dan matanya… seperti mengisyaratkan pedih yang dialaminya. Matanya telah benar-benar menghipnotis diriku. Tak sedikitpun anggota tubuh mampu aku gerakan, selain kelopak pada kedua mataku.
Dan kini, jantungku dibuat berdetak berkali lipat tatkala aku melihat sesuatu keluar dari lehernya.
“I… itu..darah!!!” batinku histeris.
Yah… itu darah. Cairan segar berwarna merah itu mengalir dari lingkar leher Bagas. Ingin rasanya aku berteriak, namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutku. Berbagai ayat suci yang kuhafal kulafalkan dalam hati. Berharap Tuhan bermurah hati melepaskanku dari keadaan ini. Namun nihil, sosok Bagas kini terlihat begitu menyeramkan, raut wajahnya kini sangat tak bersahabat. Ditambah dengan lirih ucapannya yang tak henti-hentinya berucap kalimat serupa. Aku berharap tubuhku pingsan detik ini juga.
Dan tiba-tiba… Bagas mencengkram erat kedua pergelangan tanganku. Tangannya begitu dingin kurasakan, sedingin tatapan matanya. Tak mampu lagi aku menahan rasa takut dalam diriku. Aku menutup kedua mataku. Berharap Bagas akan lenyap ketika mata ini terbuka. Lama mata ini kupejamkan, hingga akhirnya tak terasa lagi cengkraman Bagas di tanganku. Lirih suaranya pun kini tak terdengar lagi. ‘apakah Bagas telah pergi?’ batinku terus bertanya, hingga akhirnya aku putuskan untuk membuka mataku. Berharap Bagas telah pergi dan semua ini telah berakhir. ‘Namun apa ini? Aku ada dimana?’ batinku kembali bertanya. Mataku telah terbuka, namun aku tidak berada ditempat semula.Kini aku berada di sebuah rumah. Rumah panggung yang sangat sederhana. Dihadapanku ada sebuah pintu tak berdaun. Kakiku melangkah sangat hati-hati. Melewati pintu dihadapanku. Memasuki ruangan yang ternyata adalah sebuah dapur. Kudapati dua sosok terduduk memebelakangi tubuhku. Dua sosok laki-laki yang sedang asik bercengkrama seraya menikmati hangatnya bara api didalam hawu(tungku untuk memasak). Ingin segera aku bertanya pada mereka, mencari penjelasan atas apa yang terjadi. Namun belum sempat mulutku berucap, salah satu dari mereka berbalik hendak mengambil sesuatu. Dan betapa terkejutnya aku ketika remang lampu cempor(lampu minyak) menegaskan rupa sang pemilik raga dihadapanku. “I… itu Bagas!!!!” ucapku tanpa suara. Tuhan, apa yang sebenarnya sedang terjadi?. Mimpi atau ilusikah semua ini. Tuhan tolong kembalikan aku kedalam sadarku. Kembali aku memohon pertolongan pada Sang Esa. Namun dua sosok dihadapanku tetap tak beranjak dari pandanganku. Kuedarkan pandanganku, mengamati rupa sekelilingku. Rumah ini begitu sederhana. Lantai dapur yang masih berupa tanah, dinding bilik yang telah lapuk, hawu, lampu cempor, dan barang-barang yang aku yakini sudah tak dipakai di zaman sekarang. Apakah Bagas tengah memberikan penglihatan padaku. Penglihatan akan dirinya di masa lalu. Seketika pertanyaan itu muncul dibenakku. Namun bila ia benar tengah memberikan penglihatan padaku, tujuannya apa, apa ia ingin menyampaikan suatu pesan. Berbagai pertanyaan berkeliling di kepalaku.
Kutatap lekat wajah mereka berdua. Bagas begitu tampan. Rupa khas pribumi yang begitu menawan. Binar matanya memancarkan kebahagiaan yang teramat sangat. Sorot mata yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Dan disebelahnya, pria jangkung dengan rambut agak kecoklatan. Kulitnya putih dengan bintik merah yang merona di kedua pipinya. Siapa pria ini? Dan apa hubungannya dengan bagas? Dari rupanya aku dapat menebak kalau ia bukan asli pribumi seperti Bagas. Seolah menjawab pertanyaan dalam kepalaku, pria jangkung itu mengecup lembut kening Bagas, disusul dengan sandaran kepala Bagas dibahu si pria jangkung. Mereka terlihat begitu bahagia. Pertanyaan tentang siapa pria jangkung ini terjawab sudah. Ternyata Bagas memiliki cinta yang unik sepertiku.
Aku terpaku, menikmati romantisme masa lalu Bagas. Hingga tiba-tiba terdengar suara teriakan menggema diluar rumah. Bagas dan pria itu bangkit dari duduk. Mereka terlihat begitu cemas. Teriakan itu terus memekik. Memanggil nama Bagas dan pria jangkung yang selanjutnya kuketahui bernama James. Dibarengi dengan sumpah serapah dan cacian akan cinta unik mereka. Apa yang terjadi lagi kini. Aku mulai cemas. Teriakan itu terus menggema. Memanggil mereka untuk segera keluar rumah. Bagas dan James terlihat semakin ketakutan. Begitu pula diriku.
PRRAAAANNNGGG
Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca di tengah rumah. Bagas dan James segera berlari. Aku menyusul mereka. Ternyata kaca jendela pecah, terkena lemparan batu. Mereka semakin cemas. Bagas segera berlari masuk kesalah satu kamar lainnya dirumah ini. James hanya terpaku dalam ketakutannya.
BBRRRUUUUGGG
Pintu rumah didobrak paksa. Terlihat beberapa lelaki muda maupun yang telah berumur merangsak masuk. James segera berlari menyusul Bagas. Diikuti oleh pria-pria yang tadi merangsak masuk. Bagas dan James keluar diseret oleh mereka. Warga yang lain kini telah ikut memasuki rumah. Disudutkannya dua pria malang itu ditengah rumah. Cacian semakin menggema disetiap sudut rumah. Beberepa orang malah meludahi Bagas dan James. Dan beberepa orang lainnya melayangkan beberapa pukulan kebadan mereka. Mereka disiksa karena cinta unik yang mereka miliki. Cinta yang dianggap aib dan membawa petaka pada desa. Tanpa belas kasihan mereka terus menyiksa Bagas dan James. Lebam menghinggapi tubuh mereka. Darah mengalir di wajah mereka. Ingin sekali aku menolong Bagas dan James. Namun aku tak berdaya. Hanya mampu melihat tanpa bisa berbuat. Hatiku menangis menyaksikan kebiadaban dihadapanku. Dan tiba-tiba seseorang merangsak masuk kerumunan manusia biadab dihadapanku. Golok bersarang digenggaman tangannya. Dan… TIDAAAAKKK!!!!
Benda bundar itu menggelinding kearahku, dan berhenti tertahan oleh kakiku. I… itu…itu kepala Bagas. ARRRRGGGGHHH!!! Aku histeris, tubuhku lemas. Nafasku tersenggal. Aku melihat James menangis dalam pesakitannya. Lalu ia dibawa oleh warga entah kemana. Dan jasad Bagas dibawa oleh warga yang lain. Dikuburkannya jasad Bagas di sebuah lahan yang tak terawat.
***
 Jadwal kepulangan aku dan Dira diundur setelah apa yang terjadi padaku dua malam lalu. Dira menemukanku terbaring di kursi pekarangan pada pagi harinya. Kursi yang segera dibongkar setelah aku mendapatkan suatu kenyataan. Kenyataan bahwa Bagas dikubur secara tidak layak tepat dibawah kursi itu. Kini Bagas telah tenang. Ia telah mendapatkan tempat peristirahatan yang seharusnya. Aku dan Dira bersama warga lainnya menguburkan tulang-belulang sisa jasad Bagas di pemakaman desa. Dan kami pun telah melakukan tahlilan untuknya tadi malam.
“Udah siap?” aku tersentak dari lamunanku. tanpa kusadari Dira telah duduk disampingku.
“Udah” senyum indah mengembang dari bibirku.
Kami pun segera bersiap untuk kembali pada rutinitas kami. Setelah semua persiapan selesai kami segera berangkat pulang. Dira kini tenang dalam kemudinya, begitupun aku. Pengalaman yang aku dapatkan disini tak mungkin dapat aku lupakan. Hatiku tersenyum bahagia. Kulirik kaca spion disampingku, dapat kulihat Bagas juga tersenyum padaku.
END

PRAY

PRAY



“ALLOHUAKBAR…ALLOHUAKBAR….ALLOHUAKBAR…ALLOHUAKBAR WALILLAILLHAM”

Gema takbir membahana. Mengisi langit di gelap malam. Bedug berdentum seraya detak jantung.
Gegap gempita membanjiri seisikota. Inilah malam kemenangan, kemenangan untuk seluruh umat
muslim di pelosok dunia. Kemenangan atas tertahannya nafsu. Kemenangan atas kendali dalam diri.

Teramat jelas alunan takbir itu terdengar. Terdengar oleh sepasang daun telinga. Milik seorang pria
yang telah berada di usia senja. Meski usia telah mengikis kemampuan ‘indera’nya perlahan, namun
seruan akan nama Tuhan itu tak pernah menjadi samar sedikitpun melewati genderang sang ‘indera’.
Langit gelap berada dalam tatapan matanya. Tubuhnya terpaku dalam diam, menghayati alunan
memuji Sang Pencipta. Getar bibirnya melafalkan ayat-ayat suci Sang Khalik. Dalam syair indah ayat-
ayat suci itu terselip sebua do’a, do’a yang mulai diucapkannya bertahun-tahun yang lalu. Dimana
tubuh renta itu masih berdiri kokoh, jauh hari sebelum usia perlahan menyedot isi dibawah kulit
kencang miliknya. Kulit yang kini telah mengkerut karena daging yang menariknya kini telah tiada.
Do’a yang selalu ia ucapkan setelah kenyataan yang sangat pahit menghampiri hidupnya. Kenyataan
yang telah meleburkan segala asa dan harapan yang telah ia bangun. Kenyataan bahwa anak laki-laki
satu-satunya yang ia miliki adalah seorang penyuka sesama jenis. Suatu kenyataan yang sangat tidak
bisa diterima oleh pikiran dan hatinya. Kenyataan yang telah berlalu sepuluh tahun lamanya.

Ketika pria itu hendak pulang kerumah setelah keringatnya diperas seharian oleh pekerjaannya. Tak
ada yang pria itu inginkan selain mengistirahatkan badannya. Namun nampaknya keinginan pria itu
menghilang ketika membuka pintu rumahnya. Retina matanya terasa bagai terkena lelehan timah
panas ketika sepasang bola mata miliknya mendapati sesuatu yang janggal dalam pandangannya.
Matanya menangkap kegiatan anak laki-lakinya yang tengah berciuman. Takkanmenjadi sebuah
persoalan yang besar bila yang dicium sang anak adalah seorang perempuan . Namun pemilik bibir
yang ia lihat adalah seorang yang berjenis kelamin sama dengan anaknya . Urat dalam tubuhnya
seketika mengencang, darahnya terasa mendidih dan mengalir deras menuju puncak kepalanya.
Tak dipungkiri lagi amarahnya menjadi. Anak yang ia banggakan telah berbuat nista dihadapan
matanya. Sumpah serapah pun tak terbendung lagi oleh lidahnya. Tendangan dan pukulan melayang
dari kaki dan tangannya. Tubuh anak yang baru duduk di kelas 2 SMA itu perlahan membiru.
Memberi tanda dari setiap hantaman yang diberikan sang ayah. Tak hentinya bibir yang disudutnya
telah meneteskan darah itu memohon ampun. Namun setan telah menutup rapat daun telinga
pria itu. Tak dihiraukannya rintihan sang anak yang mengaduh atas sakit dibadannya. Amarahnya

telah menyingkirkan akal sehat dalam pikirannya. Sang anak pun diusir. ‘Ditendangnya’ sang
anak dari kehidupannya. Diputuskannya ikatan darah yang mengikatnya, meski sejatinya ikatan
itu takkan pernah putus oleh suatu hal apapun. Namun setan telah merasuki tubuhnya. Tak
diperdulikannya nasib sang anak kelak, yang pikirkan hanya rasa malu memiliki seorang anak yang
tak ‘wajar’. Egonya menutup pandangannya akan sesal di kemudian hari. Rasa sesal yang semakin
akut ia rasakan di usianya kini. Sesal yang menjalar dalam nadinya dan mengalir bersama darahnya.
Sesal yang menggiring do’a terucap dari bibirnya. Do’a yang mengharapkan kepulangan anak semata
wayangnya.

Sepuluh tahun sudah do’a itu diucapkan dalam setiap sujudnya kepada Sang Pencipta. Memohon
belas kasih dari-Nya. Tak ada yang lebih ia harapkan dari kepulangan sang anak, menatap wajah
darah dagingnya sebelum matanya tertutup untuk selamanya. Namun waktu nampaknya telah
mengikis harapannya, meski takkanmampu melenyapkannya. Pasrah. Sebuah kata yang enggan ia
ucapkan, apalagi untuk dilakukan. Namun waktu terus berputar. Mengurangi masanya di dunia,
mengikis jatah udara yang dihirupnya. Dan tak luput melunturkan tekad yang membulat dalam
benaknya. ‘Pasrah’ pun perlahan berhasil menelusup dalam relung batinnya.

Diangkatnya badan renta miliknya, dilangkahkan kakinya. Perlahan sepasang kaki tua yang sudah tak
mampu berlari itu mendekati bibir jendela. Hembusan angin malam perlahan membelai lembut kulit
keriput di badannya. Perlahan tetesan air dari mata rabunnya membasahi pipinya. Meratapi kejadian
yang telah berlalu. Ratapan yang selalu ia rasakan. Ratapan yang terasa bagai tusukan beribu pedang
dalam ulu hatinya. Namun tak sedikitpun mampu ia lenyapkan. Apakah rasa sakit ini sama seperti
yang anaknya rasakan ketika ia mengusirnya dulu. Pertanyaan itulah yang senantiasa melancarkan
serangan pedang dalam hatinya.

…………………………

Genderang kemenangan telah ditabuh. Beribu kata maaf telah diucapkan. Lenyaplah dosa dari diri
yang menunaikan ibadahnya sepenuh hati.

Berbagai pasang kaki telah melangkah datang dan pergi melewati pintu yang ia buka lebar, selebar
pintu maaf yang ia buka dihatinya. Hidangan khas yang mengugah selera telah tersaji lengkap di
tempatnya. Namun tangannya enggan untuk menyentuhnya. Setelah silaturahmi dengan tetangga
yang mendatangi rumahnya, ia hanya terdiam. Tubuh tuanya kembali terpaku. Memulai rutinitas
tahunan miliknya . menatap penuh harap ke arah pintu yang terbuka. Menanti sepasang kaki masuk
melewatinya. Menanti tubuh yang ia rindukan memeluknya. Yah, kembali pria renta ini menanti anak
tercintanya pulang di hari yang fitri ini. Berharap keajaiban menghampirinya kali ini. Keajaiban yang
memang selalu ia harapkan di tiap hari dalam hidupnya.

Tak terasa mentari pagi telah merangkak ke tengah langit. Menguatkan pancaran sinar dalam
dirinya. Namun kuatnya pria ini tak sekuat sang surya. Kekuatannya kembali pudar ketika ia tersadar
akan kenyataan. Kenyataan bahwa anaknya takkan pernah kembali. Kenyataan bahwa ia sendiri
tak tau bahwa anaknya masih bernafas atau tidak. Kenyataan yang selalu ia pungkiri. Ia beranjak
meninggalkan penantiannya. Mengubur segala harapannya. Dan merelakan segala yang terjadi
dalam hidupnya. Namun Tuhan berkata lain. Do’a yang selalu pria itu ucapkan akhirnya menjadi
kenyataan. Sang anak pun akhirnya pulang. Sepasang kaki yang sangat dinanti itu akhirnya melangkah masuk ke tempat dimana seharusnya ia berada. Seiring waktu, tubuh kecil itu berubah tegap. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar. Waktu yang lebih dari cukup untuk merubah penampilan, bahkan jati diri seseorang. Pria tua itu awalnya tak menyadari siapa yang berdiri di ambang pintu rumahnya. Menatap seorang anak muda yang begitu tampan dan bertubuh tegap. Berpenampilan sangat menarik dengan balutan kemeja dan jeans dari merek ternama. Namun dia adalah seorang ayah. Meski lama tak berjumpa. Meski wajah telah berubah rupa. Hatinya tak mungkin salah menyangka. Dia tau, anak muda itu adalah anaknya. Anak semata wayang yang telah diusir dari kehidupannya. Ingin rasanya dia melangkah mendekati tubuh sang anak, namun kakinya seolah membeku, merekat kuat pada ubin tempatnya berada. Hanya tetesan kecil yang mulai mencair dari kedua bola matanya. Lama mereka mematung dalam keheningan. Namun rasa rindu telah membuncah. Tak mampu lagi dikurung dalam hati . Sang anak pun berlari, menghampiri tubuh ayahnya yang telah renta. Berlutut memohon ampun atas segala khilaf yang telah diperbuat. Air mata yang telah dibendung selama sepuluh tahun itu kini jebol tanggul. Mengalir bersama rindu yang tercurahkan. Ikatan yang telah renggang itu kembali terpaut. Menjadi jawab atas do’a yang telah dipanjat. Menjadi bukti atas kemurahan hati SANG ESA.