THE PAIN
Aku ingat saat pertama kali
dua bola mataku menatap sosok dirimu. Kau berjalan dengan indah bak pangeran
berjubah. Seketika, terasa aliran listrik menyengat lembut relung didalam
dadaku. Dan aliran itu semakin deras kurasakan ketika mata kita bertemu dalam
satu pandangan. Apakah aku menyukaimu pada pandangan pertama? Tentu saja. Siapa
yang tak kan terpesona pada sosok dan parasmu. Bertubuh jangkung ramping namun
kokoh. Kau tidak mempunyai sorot mata elang yang mampu membuatku bertekuk lutut
padamu. Namun teduh tatapanmu tak pernah membuatku bosan memandangnya. Bibir tipis
yang menggoda. Kulit halus tanpa noda. Menurut pendapat orang. Ketampanan adalah
suatu hal yang relatif. Namun bagiku, sempurna adalah nilai yang kuberikan untuk
rupamu.
Dan akhirnya, tangan kita
berjabat. Jemari kita saling bertaut. Disusul oleh suara lembut yang terucap
melalui bibir tipismu. Mengungkap jati dirimu. Dwi. Raddy Dwi Putra. Itulah namamu.
Lagi, sengatan itu mengalir dalam setiap saraf dan otot dalam tubuhku. Dan ketika
sosokmu menghilang dibalik keramaian. Nama dan rupamu semakin jelas terekam
dalam memoriku.
Satu tahun sudah kita lewati
dari pertama mata ini memujamu. Waktu yang lebih dari cukup untuk membuat
dirimu dan diriku menjadi sepasang karib. Dirimu yang dewasa mampu menjadi
sandaran untukku yang manja. Satu tahun bersama sebagai sahabat membuat banyak
hal yang telah kita lewati bersama. Canda tawa, tangis duka, dan getirnya asam
kehidupan telah kita bagi besama.
Namun apakah kau tahu, benih
benih yang satu tahun yang lalu tertanam dihatiku kini telah tumbuh. Berakar dan
bercabang. Seringkali aku mencoba untuk menebangnya, namun semakin panjangnya
pula jalarnya merambat. Terkadang dedaunannya menggelitik hatiku untuk
mengungkap keberadaan inangnya. Agar ia mampu tumbuh bebas. Namun logikaku
terus menimbang akan kemungkinan layunya ia sebelum berbuah. Maka aku tetap
menyimpannya dalam ladang sempit dihatiku.
Suatu malam kita duduk
bersama. Mencoba membunuh gulita dengan canda dan tawa. Seperti biasa. Ditemani
kilau bintang dan remang purnama. Namun tiba-tiba kau terdiam ditengah tawa
yang sedang menggema. Ketika aku menatapmu, ternyata matamu telah mengunci
diriku terlebih dahulu. Tak dapat aku terjemahkan arti dari tatapanmu. Dan bibirmu
juga tak kunjung bersuara.
Perlahan wajahmu semakin
mendekat. Membuat detak jantungku semakin menggila. Tubuhku pun membeku, ketuka
bibir tipismu menyentuh lembut bibirku. Aku hanya terdiam tanpa mampu membalas.
Akhirnya kau menarik lagi tubuhmu. Dan kembali menatap lekat bola mataku. Bibirmu
akhirnya bergerak, bersuara, berucap “aku mencintaimu!”.
Jangan tanya tentang apa yang aku
rasakan. Bahagia? Lebih dari sekedar kebahagiaan yang aku rasakan. Cinta yang
selama ini terpendam terbalas sudah. Lading cintaku kini bersemi. Dihiasi dengan
warna-warna indah.
Selanjutnya hari demi hari
kita lewati. Kembali mencoba menaklukan dunia. Meski kini sedikit berbeda. Kau bukanlah
sahabat karibku lagi, melainkan kekasihku. Kini aku bebas mencium bibir tipismu
atau hanya sekedar memeluk tubuh rampingmu. Terasa begitu indah duniaku kini.
Namun tiada tawa tanpa duka. Dan
kebahagian tanpa kepedihan. Roda kehidupan selalu berputar. Menaikan mereka
yang dibawah. Dan menurunkan ia yang tengah berada diatas. Masalah selalu
menjadi teman kehidupan. Termasuk untuk hidupku. Aku jatuh tersungkur. Tatkala seorang
dari masa lalu mengungkap jati diriku pada keluargaku. Tak terelakan lagi,
murka kedua orang tua menanti didepan mata. Namun dirimu tetap setia berdiri
disampingku. Menjadi penguat atas lemahnya diriku.
Tertatih aku bangkit dari
keterpurukan. Dengan dirimu sebagai sandaran. Dan saat itu aku tahu, tiada satu
hal apapun yang mampu menjatuhkan ku bila dirimu disisiku. Dan bahagia berhasil
kurengkuh kembali bersamamu.
Bertahun sudah kita bersama. Merajut
cita. Meraih mimpi. Mengukir cerita. Memang, cerita cinta kita tak selalu
berisi narasi kata bahagia. Karena tak jarang pula masalah hadir memicu amarah.
Namun kita selalu berhasil menaklukan ego, meski tak jarang kita harus berpisah
untuk menciptakan kata damai.
Ah… terasa begitu indah cerita
cinta kita. Meski tak seindah kata-kata sang pujangga. Namun mampu membuat iri
beribu pasang mata. Sempurna. Tak berlebihan bila aku menganggap dirimu
sempurna. Kesempurnaan dengan cara dan jalan yang kau miliki. Namun kesempurnaan
yang kau miliki seketika luntur. Lenyap tak berbekas. Tatkala aku melihat
dirimu tengah bemain cinta dengan seorang entah siapa. Ditempat yang menjadi
saksi untuk indahnya malam yang telah kita lewati bersama.
Seketika terasa berpuluh kilo
beban jatuh menghantam ubun-ubun kepalaku. Segala daya lenyap tak berbekas. Badanku
bergetar hebat, menahan segala rasa dan tanya yang semakin kencang berputar
mengitari pusat kendali tubuhku. Namun kau hanya mampu terdiam. Membeku dalam
fikiranmu. Tak berucap. Tak bersuara.
Perputaran roda kehidupan
kembali menghapiri takdirku. Menjatuhkan diriku yang tengah melambung tinggi. Sakit
tak terkira kurasakan didalam jiwa. Mengusir segala rasa yang hendak
menghampiri sukma. Mega senja kini telah berganti gulita malam. Menyesakan setiapa
rongga dalam dada.
Padang cinta berhias bunga
kini telah tiada. Direnggut paksa oleh badai penuh nista. Jangankan benih yang
telah tertanam, kelopaknya pun sudah tak dapat kutemukan. Yang ada hanyalah
kerikil tajam yang semakin membuat perih setiap jejak yang menapak.
Dan kini kau berada
dihadapanku. Berlutut dengan tunduk kepalamu. Menucap beribu kata maaf. Dan mengulang
beratus penyesalan. Mengharap cinta yang akarnya telah kau cabut dengan paksa. Meminta
hati yang telah kau hancurkan hingga berkeping. Diriku bertanya, bagaimana aku bias
memberikan kembali hatiku padamu, bila hingga kini serpihannya pun tak mampu
aku satukan. Andai saja kau mengerti. Mengobati hati yang tersakiti tak semudah
memberi maaf untuk kata yang salah terucap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar