Sabtu, 03 November 2012

THE PAIN



THE PAIN
Aku ingat saat pertama kali dua bola mataku menatap sosok dirimu. Kau berjalan dengan indah bak pangeran berjubah. Seketika, terasa aliran listrik menyengat lembut relung didalam dadaku. Dan aliran itu semakin deras kurasakan ketika mata kita bertemu dalam satu pandangan. Apakah aku menyukaimu pada pandangan pertama? Tentu saja. Siapa yang tak kan terpesona pada sosok dan parasmu. Bertubuh jangkung ramping namun kokoh. Kau tidak mempunyai sorot mata elang yang mampu membuatku bertekuk lutut padamu. Namun teduh tatapanmu tak pernah membuatku bosan memandangnya. Bibir tipis yang menggoda. Kulit halus tanpa noda. Menurut pendapat orang. Ketampanan adalah suatu hal yang relatif. Namun bagiku, sempurna adalah nilai yang kuberikan untuk rupamu.
Dan akhirnya, tangan kita berjabat. Jemari kita saling bertaut. Disusul oleh suara lembut yang terucap melalui bibir tipismu. Mengungkap jati dirimu. Dwi. Raddy Dwi Putra. Itulah namamu. Lagi, sengatan itu mengalir dalam setiap saraf dan otot dalam tubuhku. Dan ketika sosokmu menghilang dibalik keramaian. Nama dan rupamu semakin jelas terekam dalam memoriku.
Satu tahun sudah kita lewati dari pertama mata ini memujamu. Waktu yang lebih dari cukup untuk membuat dirimu dan diriku menjadi sepasang karib. Dirimu yang dewasa mampu menjadi sandaran untukku yang manja. Satu tahun bersama sebagai sahabat membuat banyak hal yang telah kita lewati bersama. Canda tawa, tangis duka, dan getirnya asam kehidupan telah kita bagi besama.
Namun apakah kau tahu, benih benih yang satu tahun yang lalu tertanam dihatiku kini telah tumbuh. Berakar dan bercabang. Seringkali aku mencoba untuk menebangnya, namun semakin panjangnya pula jalarnya merambat. Terkadang dedaunannya menggelitik hatiku untuk mengungkap keberadaan inangnya. Agar ia mampu tumbuh bebas. Namun logikaku terus menimbang akan kemungkinan layunya ia sebelum berbuah. Maka aku tetap menyimpannya dalam ladang sempit dihatiku.
Suatu malam kita duduk bersama. Mencoba membunuh gulita dengan canda dan tawa. Seperti biasa. Ditemani kilau bintang dan remang purnama. Namun tiba-tiba kau terdiam ditengah tawa yang sedang menggema. Ketika aku menatapmu, ternyata matamu telah mengunci diriku terlebih dahulu. Tak dapat aku terjemahkan arti dari tatapanmu. Dan bibirmu juga tak kunjung bersuara.
Perlahan wajahmu semakin mendekat. Membuat detak jantungku semakin menggila. Tubuhku pun membeku, ketuka bibir tipismu menyentuh lembut bibirku. Aku hanya terdiam tanpa mampu membalas. Akhirnya kau menarik lagi tubuhmu. Dan kembali menatap lekat bola mataku. Bibirmu akhirnya bergerak, bersuara, berucap “aku mencintaimu!”.
Jangan tanya tentang apa yang aku rasakan. Bahagia? Lebih dari sekedar kebahagiaan yang aku rasakan. Cinta yang selama ini terpendam terbalas sudah. Lading cintaku kini bersemi. Dihiasi dengan warna-warna indah.
Selanjutnya hari demi hari kita lewati. Kembali mencoba menaklukan dunia. Meski kini sedikit berbeda. Kau bukanlah sahabat karibku lagi, melainkan kekasihku. Kini aku bebas mencium bibir tipismu atau hanya sekedar memeluk tubuh rampingmu. Terasa begitu indah duniaku kini.
Namun tiada tawa tanpa duka. Dan kebahagian tanpa kepedihan. Roda kehidupan selalu berputar. Menaikan mereka yang dibawah. Dan menurunkan ia yang tengah berada diatas. Masalah selalu menjadi teman kehidupan. Termasuk untuk hidupku. Aku jatuh tersungkur. Tatkala seorang dari masa lalu mengungkap jati diriku pada keluargaku. Tak terelakan lagi, murka kedua orang tua menanti didepan mata. Namun dirimu tetap setia berdiri disampingku. Menjadi penguat atas lemahnya diriku.
Tertatih aku bangkit dari keterpurukan. Dengan dirimu sebagai sandaran. Dan saat itu aku tahu, tiada satu hal apapun yang mampu menjatuhkan ku bila dirimu disisiku. Dan bahagia berhasil kurengkuh kembali bersamamu.
Bertahun sudah kita bersama. Merajut cita. Meraih mimpi. Mengukir cerita. Memang, cerita cinta kita tak selalu berisi narasi kata bahagia. Karena tak jarang pula masalah hadir memicu amarah. Namun kita selalu berhasil menaklukan ego, meski tak jarang kita harus berpisah untuk menciptakan kata damai.
Ah… terasa begitu indah cerita cinta kita. Meski tak seindah kata-kata sang pujangga. Namun mampu membuat iri beribu pasang mata. Sempurna. Tak berlebihan bila aku menganggap dirimu sempurna. Kesempurnaan dengan cara dan jalan yang kau miliki. Namun kesempurnaan yang kau miliki seketika luntur. Lenyap tak berbekas. Tatkala aku melihat dirimu tengah bemain cinta dengan seorang entah siapa. Ditempat yang menjadi saksi untuk indahnya malam yang telah kita lewati bersama.
Seketika terasa berpuluh kilo beban jatuh menghantam ubun-ubun kepalaku. Segala daya lenyap tak berbekas. Badanku bergetar hebat, menahan segala rasa dan tanya yang semakin kencang berputar mengitari pusat kendali tubuhku. Namun kau hanya mampu terdiam. Membeku dalam fikiranmu. Tak berucap. Tak bersuara.
Perputaran roda kehidupan kembali menghapiri takdirku. Menjatuhkan diriku yang tengah melambung tinggi. Sakit tak terkira kurasakan didalam jiwa. Mengusir segala rasa yang hendak menghampiri sukma. Mega senja kini telah berganti gulita malam. Menyesakan setiapa rongga dalam dada.
Padang cinta berhias bunga kini telah tiada. Direnggut paksa oleh badai penuh nista. Jangankan benih yang telah tertanam, kelopaknya pun sudah tak dapat kutemukan. Yang ada hanyalah kerikil tajam yang semakin membuat perih setiap jejak yang menapak.
Dan kini kau berada dihadapanku. Berlutut dengan tunduk kepalamu. Menucap beribu kata maaf. Dan mengulang beratus penyesalan. Mengharap cinta yang akarnya telah kau cabut dengan paksa. Meminta hati yang telah kau hancurkan hingga berkeping. Diriku bertanya, bagaimana aku bias memberikan kembali hatiku padamu, bila hingga kini serpihannya pun tak mampu aku satukan. Andai saja kau mengerti. Mengobati hati yang tersakiti tak semudah memberi maaf untuk kata yang salah terucap.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar