Budhayutz^^
THE RINGS
Purnama terang di puncak gelap malam. Semilir angin
berhembus menggelitik jiwa terbang ke alam tak nyata. Peraduan raga ketika
belulang terberai di dunia fana.
Mataku terbuka seketika. Terbangun dari tidurku. Untuk
kesekian kalinya, mimpi buruk hadir menjadi tamu tak di undang di kerajaan alam
bawah sadarku. Rutin mengusik khayalan dalam mimpi indahku. Kurasakan pening
mulai menjalar di saraf otakku. Membawa serta perih di bola mataku. Keheningan malam mempertegas detak jarum yang
senantiasa berputar beriringan dalam sangkar kaca berbentuk bulat. Sangkar kaca
yang terletak di sudut atas pintu kamarku. Sang jarum berhenti di angka tiga
saat ini. Kuangkat tubuhku, kusandarkan pada tumpukan bantal yang telah
tersusun. Mengumpulkan sisa kesadaranku. Serta menenangkan debar jantungku.
Lama aku tertunduk, bertumpu pada lututku yang bergetar. Sudah hampir seminggu
mimpi buruk yang seperti tadi selalu membangunkanku di
pagi buta seperti sekarang ini. Aku terdiam di heningnya malam, mencoba
mengembalikan sisa tenaga di lutut lemasku. Kuangkat kakiku. Mencoba
menggerakan tubuhku ke bagian lain sudut ruangan ini. Kusandarkan tubuh kecilku
di dinding. Kurasakan dingin menyelusup di badanku yang hanya mengenakan kaos
tanpa lengan. Lembab oleh udara malam
yang beranjak pagi. Kubakar sebatang rokok. Kuhisap dalam-dalam. Lalu
kuhembuskan asap tebal ke langit-langit. Perlahan bayangan masa lalu menyeruak
di benaku.
#flashback
“Rai...aku ingin kita putus” bibirku berucap di dalam
tunduk kepalaku. Tak mampu aku menatap wajahnya ketika kalimat itu terucap.
“HAH!!!! Maksud kamu apa?!” Rai bereaksi atas
ucapanku. Membuat pengunjung lain melirik ke arah kami.
“Aku ingin hubungan kita berakhir” suaraku lirih.
Kepalaku masih tertunduk. Menahan genangan air di kelopak mata.
“Tapi kenapa Yo?” suara Rai kini mulai teratur.
Lembut. Membuat keberanianku hadir untuk bisa menatap wajah lelaki terindah
dalam hidupku selama ini. Kutatap wajahnya. Tercetak jelas khawatir di saraf
otaknya. Namun tak mengurangi keindahannya. Rai memang tak memiliki wajah
setampan yang aku impikan untuk menjadi pasangan hidupku. Standar. Itulah kata
yang pas untuk menggambarkan keadaan fisik kekasihku ini. Karena Rai juga tak
memiliki rupa yang buruk. Namun ada sesuatu yang melebihi ‘standar’ fisiknya.
Jauh di dalam dirinya tersimpan sosok yang mampu membuatku bertekuk lutut
dihadapannya. Sosok bijak penyejuk sukma atas jiwa yang bergejolak. Tak terasa
air mataku mulai mengalir, menggantikan kata-kata yang tak mampu ku ucapkan.
Kekhawatiran nampaknya mulai memuncak dalam kepala Rai. Terkejut dan tak
percaya mungkin yang dia rasakan saat ini. Di genggamnya kini kedua tanganku, tak
memperdulikan atas reaksi orang-orang disekitar kami. Bibirnya kembali berucap
berbagai kata. Meminta jawaban dari diriku atas situasi seperti ini. Aku pun sudah tak tahan dengan situasi
seperti ini. Tak ingin menambah waktu untuk khawatir bergelayut lebih lama di
benak Rai. Otakku berputar. Berusaha mencari kalimat terbaik yang akan aku lontarkan. Dan
akhirnya...
“Aku mencintaimu tanpa alasan. Dan aku rasa, aku juga tak memerlukan alasan untuk berhenti
mencintaimu dan mengakhiri hubungan kita. Semoga kamu menemukan orang lain yang
lebih baik dariku.” Sebuah kalimat terlontar dari mulutku. Kalimat yang sangat
menyakitkan kurasa. Ku tarik tanganku dari genggaman Rai. Ku hapus air mataku dan
segera aku meninggalkan Rai, mencampakkannya ditengah kebingungan dan
pesakitan.
#end flashback
Kumandang adzan shubuh mulai menggema. Mataku tak
mampu kembali tertutup, rasa kantuk telah benar-benar sirna ketika mataku
terbuka seketika oleh mimpi buruk tadi. Hanya rasa perih oleh asap rokok yang
mulai terasa. Membuat mataku sedikit berkaca. Sedari tadi fikiranku melayang
namun mataku tak beralih, menatap sebuah kotak mungil berbalut beludru. Kotak
yang dikirim padaku seminggu yang lalu. Kotak yang membawa mimpi buruk di tiap
tidurku. Kuambil secarik kertas yang berada tepat disampingku. Secarik kertas
yang sudah tak berbentuk rupa. Kertas yang sudah ku remas ketika pertama kali
aku mendapatkannya. Kertas yang tulisannya
hampir memudar karena basah terkena tetesan air mata saat aku pertama
membacanya. Kertas yang ku kutuk atas kedatangannya. Namun tak dapat ku
hancurkan karena aku begitu merindukan pengirimnya. Kembali aku menatap barisan
kata yang tertulis rapi. Entah untuk yang keberapa kalinya aku membaca isi
kertas ini.
Aku menunggu dirimu
Aku berharap akan
kedatanganmu
Kamu yang akan datang membawa
bahagia dalam hidup
Kamu yang mampu lenyapkan
kelam dalam angan
Kamu yang akan menjaga hati
hingga tak ada derita yang menghampiri jiwa
Kamu yang mampu leburkan
nestapa hingga ku merasa di surga
Dear Ryo,
My Lovely One
Sebelumnya izinkan aku memberimu selamat atas
bertambahnya usiamu. Ingin rasanya aku memeluk tubuhmu, serta mencium keningmu
di hari bahagia untukmu. Menjadikan diriku bagian dari bahagiamu. Namun
nampaknya inginku hanya berakhir sebagai sebuah angan. Angan layaknya punguk
yang memimpikan indahnya sang rembulan. Sungguh, rasa penasaran ini tak pernah
beranjak dari benakku. Keingintahuan atas alasan dirimu mencampakanku, di
tanggal yang sama di tahun yang lalu. Mungkin lidahku telah membeku karena
tanya selalu keluar dari mulutku. Namun batinku tak pernah berhenti mencari
jawaban atas petaka yang terjadi.
Kadang aku berhayal, kau datang tiba-tiba menghampiri
diriku dan memelukku. Menyerahkan cinta dan ragamu dalam dekapanku. Khayalan
yang aku dapat setelah menonton film bergenre drama romantis. Genre film yang
mulai berhenti ku tonton ketika khayalan tentangmu berevolusi menjadi sebuah
harapan yang menyiksa relung batinku.
Satu tahun telah berlalu, waktu yang kukira cukup
untuk melupakanmu. Namun nyatanya wajahmu tetap terlukis sempurna di pandangan
mataku. Tak sedikitpun aku mampu melupakan senyum di wajahmu. Meskipun kenangan
tentangmu perlahan hancur oleh amarahku.
Maafkan aku telah
kembali mengusik kehidupanmu. Dan terimalah hadiah dariku. Hadiah yang
sejatinya akan mengikat cinta kita di tahun yang lalu. Namun di tahun ini,
anggaplah hadiah itu sebagai tanda perpisahan abadi kita.
Maafkan aku yang selalu mencintaimu dan tak sanggup
melupakanmu. Harapku selalu untuk bahagiamu.
Rai
Kembali sesak terasa didada. Membuat nafas tersenggal.
Hati dan hidupku terasa hancur. Perasaan yang aku dapatkan setiap kali membaca
kertas yang berisi tulisan tangan Rai ini. Kucoba meraih kotak beludru yang
terletak tak jauh dari keberadaanku. Kubuka kotak mungil itu. Didalamnya
terdapat sepasang cincin yang nampaknya terbuat dari emas putih. Cincin yang
dibuat sederhana tanpa dihiasi mata. Cincin yang keduanya diperuntukan untuk
jemari laki-laki, walaupun dibuat berpasangan. Baru kali ini aku berani
memperhatikan kedua cincin ini lebih dekat. Karena sebelumnya rasa sakitku
telah menghancurkan seluruh dayaku. Kuperhatikan baik-baik detil cincin
ditanganku ini, terdapat ukiran nama kami di bagian dalam masing-masing cincin.
Kupakai salah satu cincin yang ukurannya pas di jariku, cincin yang terukir
nama Rai didalamnya. Lama aku bermain dengan cincin di jariku. Membayangkan Rai
memasangkan cincin ini di jari manisku. Hingga tak terasa, mentari telah
menyinari dunia. Melenyapkan gelap. Dan membawakanku sebuah semangat yang
membulatkan tekad. “tunggu aku sayang, aku akan kembali dalam pelukanmu. Semoga
engkau masih berkenan menyambut cintaku.” Gumamku dalam hati. Segurat senyum
hadir di bibirku.
Satu bulan telah berlalu, terhitung dari aku menerima
kado dari Rai. Dan lusa aku akan kembali ke tanah kelahiranku. Tanah yang
dijuluki Kota Bunga yang dihiasi beribu kelopak cinta. Termasuk kelopak cinta
milikku. Rai. Rencana pulang lebih awal nampaknya tak mungkin terwujud karena
aplikasi surat cutiku tak mendapat restu dari sang empunya. Alhasil aku harus
menunda pertemuanku dengan Rai. Dan hari yang kutunggu-tunggu itu tak lama lagi
akan segera menghampiriku. Menggiring jiwa menuju taman cinta.
Andai saja dulu aku dapat lebih berhati-hati, mungkin
petaka itu tak kan pernah terjadi. Petaka yang memaksaku untuk hijrah ke kota
orang. Dan petaka itu pula yang memisahkan cintaku bersama Rai. Perih rasanya
bila mengingat hari itu. Hari dimana bencana itu terjadi.
#flashback
“Ryo...bangun!!!Ryo...Ryo...bangun!!!!” aku yang
sedang tertidur pulas tiba-tiba dibangunkan secara kasar. Tubuhku diguncangkan
tak karuan. Aku membuka mata. Kudapati Kak Dina berdiri tepat disampingku.
Sambil terus berteriak membangunkanku.
“Kenapa Kak? Ada kebakaran?” jawabku setengah sadar.
Kesal mimpiku dibuyarkan.
“Ga usah bercanda kamu!! Bangun!!!” kali ini nada
suara Kak Dina meninggi. Pertanda ia sedang benar-benar marah.
“Apaan sih kak?!” nada suaraku tak kalah meninggi.
Kekesalanku pun bertambah.
“itu apa?!” Kak Dina menunjuk ke arah layar laptop
dihadapanku. Aku menoleh. Dan, ASTAGA. Tadi aku tertidur di meja belajar di
kamarku. Dengan laptop masih dalam keadaan ON. Ditambah aku belum menutup akun
jejaring sosialku. Dan yang lebih parah, aplikasi chat di jejaring sosialku itu
belum aku tutup juga. Dan disitu tertulis jelas pembicaraanku dengan Rai
sebelum aku tertidur tadi. Sebuah pembicaraan yang cukup mesra diantara kami.
Semoga saja Kak Dina belum membacanya. Tuhan tolong aku.
“apa itu?! Jelasin sama kakak!!!” kembali Kak Dina
bersuara dengan nada tingginya.
“ehm..itu...ehm..anu...” aku yang tersudut dengan
situasi seperti ini tak mampu berkata lebih.
“kamu pacaran sama Rai??? Kamu GAY??!!” Kak Dina
mendesakku.
“hah..engga Kak..itu...kita cuma bercanda aja kok...”
jawabku mencari alasan.
“ga usah bohong kamu. Kelakuan bejatmu sudah
terbongkar. Kamu bisa mengelak tentang hubunganmu dengan Rai, tapi kamu lihat
itu” Kak Dina kembali menunjuk ke arah layar monitor. Aku mengikuti arah
telunjuk Kak Dina. DAMN!!!!
“situs porno yang kamu buka itu sudah cukup menjadi
bukti kalau kamu GAY!!!!” Kak Dina menekankan kata terakhir dalam kalimatnya
itu, seraya mendekatkan wajahnya pada mukaku, “dan bersiaplah, begitu papa
pulang, kakak akan ceritakan semuanya. Kakak ga sudi punya adik seorang
HOMO!!!!” lanjutnya. Dan Kak Dina pun keluar dari kamarku. Membawa rahasia yang
selama ini kujaga. Kurasakan kiamat akan segera menghampiri hidupku. Tak dapat
kubayangkan bila Kak Dina benar-benar menceritakan perihal ini kepada papa. Aku
mencoba menghubungi Rai, namun gagal, nomor Rai tidak aktif. Berkali aku
mencoba menghubungi Rai namun selalu gagal. Hingga akhirnya papa pulang. Dan
kiamat pun datang. Kak Dina benar-benar telah menghancurkan hidupku. Tak
dipungkiri lagi, aku mengutuk kakak tiriku itu. Setelah mendengar cerita dari
Kak Dina, darah papa mendidih, segera aku mendapat murka miliknya. Aku disidang
layaknya lelaki yang tertangkap basah berbuat zinah di muka umum. Tidak ada
ampun, dan tak bisa menawar hukuman. Papa langsung menyuruhku untuk memutuskan
hubunganku bersama Rai. Tentu saja aku menolak. Berusaha meyakinkan papa
tentang cinta yang kami jalani. Tapi bukan restu yang aku dapatkan, melainkan
sebuah ancaman. Papa mengancam akan melakukan berbagai cara untuk memisahkan
kami. Dan tak segan menularkan derita yang sedang ku alami pada Rai. Papa
memang memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua. Dan aku tak ingin orang yang
sangat aku cintai merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Terpaksa aku
menuruti semua keinginan papa. Termasuk meneruskan usaha papa dengan memimpin
salah satu cabang usaha miliknya di Surabaya. Biarlah Rai merasakan sakit atas
cintaku , karena aku yakin suatu saat nanti Rai akan menemukan sosok pengganti
yang jauh lebih baik dariku. Namun jangan sampai dia merasakan sakit atas
rahasia yang terbongkar pada keluarga. Dia adalah tumpuan keluarga, tak ingin
aku menyakiti hati ibu Rai yang telah kuanggap seperti ibuku sendiri.
#end flashback
Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk meyakinkan
diriku atas keputusan yang aku ambil sekarang. Kini tekadku sudah bulat, tak
ingin aku mengulangi kesalahanku dulu. Tak ingin aku terpisah lebih lama lagi
dari orang yang sangat aku cintai. Selama perjalanan pulang tak hentinya aku
mengucap harap, berharap Rai akan menerimaku kembali dan memaafkan segala
kesalahanku. Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, akhirnya aku tiba di
kota kelahiranku. Bandung. Dan di kota ini pula cinta kami lahir. Setelah
sampai aku tak langsung pulang ke rumah, melainkan memilih menginap di hotel.
Bersembunyi dari papa. Aku tak ingin dia mengetahui tujuan dari kepulanganku,
dan kembali menghancurkan kebahagiaanku. Sudah tiga hari aku berada di tanah
sunda ini, namun aku masih mengulur waktu menunda pertemuanku dengan Rai. Entah
kenapa, rasanya hati ini belum siap. Menghabiskan waktu tiga hari ini mengenang
masa-masa indah kami dahulu. Aku datangi beberapa tempat yang menjadi saksi
mati atas kebersamaan kami dahulu, dan seketika keberanianku memuncak ketika
aku tiba di sebuah jembatan. Jembatan Pasupati. Tempat dimana Rai mengungkapkan
perasaannya padaku. Dan tempat dimana sebuah janji di ikrarkan.
#flashback
“Rai kita mau kemana ??” tanyaku setengah berteriak di
belakang boncengan Rai.
“Kerupuk !!!” jawab Rai sekenanya diikuti pukulan yang
aku berikan di punggung Rai. Aku sudah mengenal Rai semenjak di bangku SMA,
semakin hari hubungan kami semakin dekat hingga sekarang. Walaupun aku dan Rai
kini terpisah karena berbeda Universitas, namun hubungan kami tak menjadi
renggang malah semakin akrab. Dan seiring berjalannya waktu rasa cinta pun
tumbuh di hatiku. Aku sudah merasakan perbedaan orientasi seksualku sejak masih
SMP, jadi aku merasa tak terlalu aneh bila tiba-tiba aku menyukai Rai. Namun
aku berhasil menutupi itu semua, termasuk dari Rai. Aku tak ingin sahabat yang
aku sayangi menjauh. Maka aku tahan perasaanku padanya, mencoba menjadi
senormal mungkin, layaknya dua lelaki yang bersahabat tanpa memiliki perasaan
khusus. Dan seperti malam ini, aku kembali memainkan peranku, menghibur
sahabatku yang baru putus dari pacarnya (perempuan tentunya). Dan kebetulan aku
juga baru putus dari BF-ku (kalo yang ini Rai gak tauuu..). alhasil malam
minggu ini kami habiskan berdua, Rai menghentikan laju motornya, kami menepi di sisi jalan sebuah jembatan. Jembatan
yang menjadi tempat favorit pasangan kekasih untuk bermalam minggu. Tempat yang
romantis menurutku, walaupun terletak di pinggir jalan sebuah jembatan. Deru
suara knalpot kendaraan yang ramai lalu lalang menjadi live music pengiring
kebersamaan kami. Bahagia rasanya, menikmati indahnya kerlip lampu kota di
malam hari bersama orang yang aku cintai. Lama kami bersenda gurau ditemani
sebungkus rokok dan dua botol minuman randah alkohol, hingga tak menyadari
sekitar kami telah sepi. Pasangan muda-mudi satu persatu berlalu, hanya
tertinggal beberapa pasang saja. Termasuk kami. Udara malam kian menusuk
tulang, jaket yang aku pakai tak mampu menghalanginya. Aku yang kedinginan
mencoba menghangatkan diri, menggosokkan kedua telapak tanganku. Tiba-tiba....
“dingin yaa ?? sinii....” Rai yang berdiri di
sampingku tiba-tiba beranjak, menggeser posisinya hingga tepat di belakangku.
Lalu. Sepasang tangan melingkar di badanku, Rai memelukku. Rasanya seperti
jatuh seketika dari jembatan tempat kami berada sekarang, tubuhku yang
kedinginan tiba-tiba mati rasa. Berbagai macam fikiran melintas di otakku,
ingin aku berontak, melepaskan pelukan Rai. Namun aku juga tak ingin melewatkan kesempatan yang aku impikan selama
ini. Lama batin dan logikaku berseteru. Hingga terasa hembusan hangat di
telingaku.
“aku mencintaimu Yo. Mencintaimu sejak dulu.” Rai
berbisik lembut di telingaku, membuat bulu kudukku berdiri karena geli.
Sekaligus membuat jantungku berhenti berdetak seketika karena kalimat yang
terucap dari mulutnya.
“ta..tapi Rai” suaraku terbata. Gugup oleh keadaan.
“sudahlah Yo, gak ada lagi yang perlu kamu tutupi. Aku
sudah tau semuanya, kamu juga menyukai laki-laki kan. Yang sekarang aku ingin
tau apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan kepadamu Yo ??” Rai menjelaskan,
memberikan sedikit ketenangan dalam diriku. Aku lepaskan pelukan Rai. Berbalik.
Merubah posisi kami menjadi saling berhadapan. Kulihat raut ketegangan di muka
Rai, menunggu jawaban yang akan aku lontarkan.
“Jawablah Yo, sudah terlalu lama aku menyimpan
perasaan ini. Tak ingin lagi aku menunggu lebih lama.” Kali ini dia memohon.
Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Hanya segaris senyum yang aku berikan,
membuat satu alis milik Rio terangkat, dan kini giliranku memeluknya,
mendekapkan tubuhku padanya.
“Aku juga mencintaimu Rai, mencintaimu sedari dulu.”
Mendengar ucapanku, Rai seketika membalas pelukanku, mengusir udara dingin
ditubuhku. Lama kami berpelukan, tak memperdulikan tatapan aneh yang tertuju
pada kami, dan akhirnya kami lewati malam ini sebagai sepasang kekasih.
Mencopot gelar sahabat yang telah mengikat kami selama ini.
“Aku tak ingin kehilanganmu Rai” ucapku lirih yang
bersandar di bahu kokoh milik Rai.
“Aku juga sayang. Berjanjilah padaku, apapun yang
terjadi kamu tak kan pernah meninggalkanku.”
“Aku janji Rai. Aku tak akan meninggalkanmu walau maut
yang memisahkan kita. Aku akan selalu bersamamu.”
Sebuah ikrar janji yang terucap dari mulutku. Janji
yang akan menjadi pilar istana cinta kami.
#end flashback
Pagi ini aku begitu bersemangat , tak sabar ingin
segera menemui belahan jiwaku. Dengan membawa kotak beludru pemberian Rai
beserta isinya, aku berangkat menuju kantor Rai. Bermaksud memberinya sebuah
kejutan. Setibanya di kantor dimana Rai mencari uang untuk sesuap nasi, aku
segera menghampiri meja resepsionis. Menanyakan dimana letak keberadaan Rai,
atau meminta wanita cantik yang sedang bertugas itu memanggilnya untuk
menemuiku. Namun ternyata Rai tidak berada ditempatnya, wanita yang kuketahui
bernama Ane itu mengatakan Rai sudah satu minggu tidak masuk kerja. Dikarenakan
sakit. Rasa cemas segera menggelayut dibenaku, setahuku Rai adalah sosok yang
kuat dan bertanggung jawab. Dia tidak akan meninggalkan pekerjaanya selama itu
walaupun dalam kondisi yang tidak baik. Apakah separah itu sakit yang
dideritanya? Penyakit apa yang hinggap ditubuhnya, hingga ia meninggalkan
pekerjaannya begitu lama. Berbagai pertanyaan hadir di otaku, menambah berat
kekhawatiran di hatiku. Tanpa membuang waktu, aku segera menuju rumah Rai, berharap
ia ada dirumah dan tidak sedang dirawat dirumah sakit. Selama perjalanan menuju
rumah Rai, aku mencoba menghubungi dirinya, mengurungkan kejutan yang ingin
kuberikan. Namun nomor HP Rai tidak aktif, aku semakin gelisah dibuatnya.
Akhirnya aku tiba diperumahan dimana rumah Rai berada. Jalan yang diportal dan
ditambah dengan tak ada penjaga yang mengawasi, membuatku harus turun dari taxi
yang kutumpangi, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jarak rumah
Rai yang tidak terlalu jauh membuatku tak banyak menghabiskan waktu. Aku sudah
tiba di depan rumah Rai, namun rasa khawatirku kini kian menjadi. Mendapati
rumah Rai yang begitu ramai, dipenuhi manusia berseragam hitam berlalu-lalang.
Dan lututku semakin lemas, mendapati bendera kuning terpasang di pagar rumah
milik Rai. Serta alunan ayat suci Al-Qur’an yang samar terdengar dari dalam
rumah membuatku semakin merinding. Tuhan, apakah Rai?
Segera aku berlari masuk ke rumah Rai. Ruang tamu yang
dulu berisi meja dan kursi, kini telah disulap menjadi sebuah ruangan kosong.
Yang hanya beralaskan permadani. Rasa haru menyelimuti setiap sudut ruangan.
Badanku lemas. Aku terjatuh berlutut. Menatap seorang terbaring kaku ditutupi
oleh sehelai kain. Tepat disampingnya, seorang ibu menangis histeris. Berkali
menyebut nama anaknya yang telah tiada. Berharap sang anak akan segera membuka
matanya layaknya terbangun dari tidur malamnya.
“Rai...bangun nak. Jangan tinggalin Ibu. Bangun nak.
Bangun....” tak hentinya sang Ibu meronta. Seakan segala usahanya itu akan
merubah keadaan menjadi hanya sebuah mimpi belaka. Tak dapat kuungkapkan
perasaan hatiku saat ini. Hidupku terasa terbentur pada sebuah jalan buntu.
Ingin rasanya aku menangis dan meronta seperti sang Ibu. Namun daya dalam
tubuhku tak mencukupi, jangankan untuk mengerakan tubuh ku untuk meronta-ronta,
hanya sekedar mengeluarkan suara dalam tangispun aku tak mampu. Hati ini terasa begitu sakit,
sehinga seluruh tenaga dalam otot-ototku sirna. Hanya air mata yang tanpa
komando bercucuran tanpa henti. Kupaksakan tubuhku bangkit. Berusaha mendekati
sosok kaku tak bernyawa dihadapanku. Namun sebelum aku berhasil mendekat, mata
sang Ibu lebih dulu menyadari keberadaanku. Nanar sorot matanya diarahkan
padaku. Sebuah tatapan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya.
“Mau apa kamu datang kesini?!” sang ibu melontarkan
kalimat padaku di tengah isak tangisnya. “Belum puas kamu dengan apa yang kamu
lakukan pada anakku?!!” lanjut sang Ibu. Sungguh aku tak mengerti apa yang
diucapkannya.
“Bu...tenang Bu...” wanita lain yang sebaya dengan
sang Ibu mencoba menenangkannya. Namun tak berhasil. Amarahnya kian menjadi.
“Dasar pembunuh!!!! Pergi kamu!!!! Kamu sudah membunuh anakku. Jangan pernah
kamu injakan kakimu dirumahku!!!” sang Ibu berteriak histeris, menyalahkanku
atas kematian anaknya. Aku yang tak mengerti dengan keadaan, hanya bisa terdiam
ditengah tangisanku. Tiba-tiba dua pasang tangan mengangkat tubuhku, awalnya
kukira mereka bapak-bapak yang melayat, namun perlahan sikap mereka semakin
kasar menarik tubuhku. Aku menoleh, dua orang berseragam security dengan postur
tubuh yang tak kecil sedang menyeret tubuhku, menjauh dari jasad Rai yang
terbaring kaku. Aku mengenali mereka sebagai ajudan Papa. “mau apa kalian?!
Lepasin gue!!!” aku meronta. “maaf tuan. Tapi tuan besar memerintahkan kami
untuk membawa tuan pulang kerumah” salah satu ajudan bersuara. “gue ga mau!!!
lepasin gue” kembali aku memberikan perlawanan. Namun sia-sia, besar tubuh dan
tenagaku tak mampu mengimbangi mereka. Akupun dibawa paksa untuk pulang
kerumah.
****
Seminggu berlalu sejak kematian Rai. Pertanyaan
tentang penyebab kematian Rai berkecamuk di otakku sejak saat itu. Namun tak
ada yang dapat kulakukan untuk mencari tahu. Papa memberikan penjagaan ekstra
ketat untukku. Semua alat komunikasiku dicabut. Dan aku tak di izinkan untuk
meninggalkan kamar. Seluruh aktifitas yang rutin dilakukan oleh manusia
bernyawa aku lakukan dalam kamar ini.
Namun cahaya terang perlahan menelusup dalam gelapnya hidupku kini.
Jawaban tentang kematian Rai kini mulai terungakap. Samar aku mendengar penjaga
kamarku berbincang di depan pintu. Mereka membicarakan Rai, dan tentu saja
kematiannya. Mataku terbelalak seketika, ketika mendengar kenyataan bahwa
Papalah dalang dibalik kematian Rai. Papa memerintahkan ajudan-ajudan bertubuh
besar miliknya untuk memberi pelajaran terhadap Rai, pelajaran yang tak mungkin
Rai lupakan selama hidupnya, namun Papa yakin cukup untuk Rai melupakanku. Saat
itu Papa begitu marah ketika Rai datang menemui papa dan meminta restu dari
papa untuk hubungan kami. Kejadiaan itu dua minggu setelah Rai mengirim kado
untukku. Awalnya papa hanya mengusir Rai, namun Rai tetap memaksa hingga amarah
Papa benar-benar tak terbendung lagi. Diperintahkannya ajudan-ajudan itu untuk
menghajar Rai. Rai dihajar sedemekian rupa hingga tak sadarkan diri. Tubuhnya
dibuang dijalan. Namun ia masih bernyawa. Setelah dibawa kerumah sakit oleh
warga sekitar yang menemukan Rai dipinggir jalan, Rai mengalami koma sebelum
akhirnya nyawanya ditarik oleh sang malaikat.
Aku mengutuk diriku sendiri. Mengutuk diriku yang tak
mampu memperjuangkan cintaku. Berbanding terbalik dengan Rai, yang tetap
mempertahankan cintanya padaku hingga akhir hidupnya. Kembali aku meratapi kepergian
Rai. Diiringi bayangan tentang masa lalu kami berdua. Dan seketika amarahku
membuncah ketika bayangan itu menampakan sosok Papa dan Kak Dina. Tak terasa
tanganku bergerak tanpa arah dan kendali, menghancurkan seluruh isi kamar.
Menjadikan seluruh isi kamarku sama hancurnya dengan hidupku saat ini, meski
tak mampu menandingi.
****
“Wahai kekasih, izinkanlah aku memenuhi janji yang
telah aku ucapkan dahulu. Izinkan aku tuk selalu bersamamu. Tak kan lagi aku
mengecewakan dirimu. Tak kan lagi raga ini menjauh dari relungmu. Aku kan
selalu berada disampingmu. Menemanimu dalam heningnya kubur.”
Kutatap nisan bertuliskan nama Rai dihadapanku. Kini
aku telah begitu dekat dengannya. Setelah segala upaya ku kerahkan untuk keluar
dari neraka dunia milik Papa. Kini aku ada berada dihadapanmu, dan tak lama
lagi kita akan berjalan beriring menuju indahnya taman surga. Kuletakan cincin
yang diperuntukan untuk jari Rai. Dan kupakai cincin untuku. Kupenuhi
keinginanmu wahai cinta. Cincin ini akan mengikat cinta kita. Wahai malaikat,
segeralah datang untuk menjemputku. Dan bawalah diriku untuk menemui cintaku.
Kuarahkan sebuah moncong senapan tepat di kepalaku.
Kugerakan jariku untuk segera menarik pelatuknya. Dan.... DOOORRRR!!!!.