Sabtu, 03 November 2012

THE PAIN



THE PAIN
Aku ingat saat pertama kali dua bola mataku menatap sosok dirimu. Kau berjalan dengan indah bak pangeran berjubah. Seketika, terasa aliran listrik menyengat lembut relung didalam dadaku. Dan aliran itu semakin deras kurasakan ketika mata kita bertemu dalam satu pandangan. Apakah aku menyukaimu pada pandangan pertama? Tentu saja. Siapa yang tak kan terpesona pada sosok dan parasmu. Bertubuh jangkung ramping namun kokoh. Kau tidak mempunyai sorot mata elang yang mampu membuatku bertekuk lutut padamu. Namun teduh tatapanmu tak pernah membuatku bosan memandangnya. Bibir tipis yang menggoda. Kulit halus tanpa noda. Menurut pendapat orang. Ketampanan adalah suatu hal yang relatif. Namun bagiku, sempurna adalah nilai yang kuberikan untuk rupamu.
Dan akhirnya, tangan kita berjabat. Jemari kita saling bertaut. Disusul oleh suara lembut yang terucap melalui bibir tipismu. Mengungkap jati dirimu. Dwi. Raddy Dwi Putra. Itulah namamu. Lagi, sengatan itu mengalir dalam setiap saraf dan otot dalam tubuhku. Dan ketika sosokmu menghilang dibalik keramaian. Nama dan rupamu semakin jelas terekam dalam memoriku.
Satu tahun sudah kita lewati dari pertama mata ini memujamu. Waktu yang lebih dari cukup untuk membuat dirimu dan diriku menjadi sepasang karib. Dirimu yang dewasa mampu menjadi sandaran untukku yang manja. Satu tahun bersama sebagai sahabat membuat banyak hal yang telah kita lewati bersama. Canda tawa, tangis duka, dan getirnya asam kehidupan telah kita bagi besama.
Namun apakah kau tahu, benih benih yang satu tahun yang lalu tertanam dihatiku kini telah tumbuh. Berakar dan bercabang. Seringkali aku mencoba untuk menebangnya, namun semakin panjangnya pula jalarnya merambat. Terkadang dedaunannya menggelitik hatiku untuk mengungkap keberadaan inangnya. Agar ia mampu tumbuh bebas. Namun logikaku terus menimbang akan kemungkinan layunya ia sebelum berbuah. Maka aku tetap menyimpannya dalam ladang sempit dihatiku.
Suatu malam kita duduk bersama. Mencoba membunuh gulita dengan canda dan tawa. Seperti biasa. Ditemani kilau bintang dan remang purnama. Namun tiba-tiba kau terdiam ditengah tawa yang sedang menggema. Ketika aku menatapmu, ternyata matamu telah mengunci diriku terlebih dahulu. Tak dapat aku terjemahkan arti dari tatapanmu. Dan bibirmu juga tak kunjung bersuara.
Perlahan wajahmu semakin mendekat. Membuat detak jantungku semakin menggila. Tubuhku pun membeku, ketuka bibir tipismu menyentuh lembut bibirku. Aku hanya terdiam tanpa mampu membalas. Akhirnya kau menarik lagi tubuhmu. Dan kembali menatap lekat bola mataku. Bibirmu akhirnya bergerak, bersuara, berucap “aku mencintaimu!”.
Jangan tanya tentang apa yang aku rasakan. Bahagia? Lebih dari sekedar kebahagiaan yang aku rasakan. Cinta yang selama ini terpendam terbalas sudah. Lading cintaku kini bersemi. Dihiasi dengan warna-warna indah.
Selanjutnya hari demi hari kita lewati. Kembali mencoba menaklukan dunia. Meski kini sedikit berbeda. Kau bukanlah sahabat karibku lagi, melainkan kekasihku. Kini aku bebas mencium bibir tipismu atau hanya sekedar memeluk tubuh rampingmu. Terasa begitu indah duniaku kini.
Namun tiada tawa tanpa duka. Dan kebahagian tanpa kepedihan. Roda kehidupan selalu berputar. Menaikan mereka yang dibawah. Dan menurunkan ia yang tengah berada diatas. Masalah selalu menjadi teman kehidupan. Termasuk untuk hidupku. Aku jatuh tersungkur. Tatkala seorang dari masa lalu mengungkap jati diriku pada keluargaku. Tak terelakan lagi, murka kedua orang tua menanti didepan mata. Namun dirimu tetap setia berdiri disampingku. Menjadi penguat atas lemahnya diriku.
Tertatih aku bangkit dari keterpurukan. Dengan dirimu sebagai sandaran. Dan saat itu aku tahu, tiada satu hal apapun yang mampu menjatuhkan ku bila dirimu disisiku. Dan bahagia berhasil kurengkuh kembali bersamamu.
Bertahun sudah kita bersama. Merajut cita. Meraih mimpi. Mengukir cerita. Memang, cerita cinta kita tak selalu berisi narasi kata bahagia. Karena tak jarang pula masalah hadir memicu amarah. Namun kita selalu berhasil menaklukan ego, meski tak jarang kita harus berpisah untuk menciptakan kata damai.
Ah… terasa begitu indah cerita cinta kita. Meski tak seindah kata-kata sang pujangga. Namun mampu membuat iri beribu pasang mata. Sempurna. Tak berlebihan bila aku menganggap dirimu sempurna. Kesempurnaan dengan cara dan jalan yang kau miliki. Namun kesempurnaan yang kau miliki seketika luntur. Lenyap tak berbekas. Tatkala aku melihat dirimu tengah bemain cinta dengan seorang entah siapa. Ditempat yang menjadi saksi untuk indahnya malam yang telah kita lewati bersama.
Seketika terasa berpuluh kilo beban jatuh menghantam ubun-ubun kepalaku. Segala daya lenyap tak berbekas. Badanku bergetar hebat, menahan segala rasa dan tanya yang semakin kencang berputar mengitari pusat kendali tubuhku. Namun kau hanya mampu terdiam. Membeku dalam fikiranmu. Tak berucap. Tak bersuara.
Perputaran roda kehidupan kembali menghapiri takdirku. Menjatuhkan diriku yang tengah melambung tinggi. Sakit tak terkira kurasakan didalam jiwa. Mengusir segala rasa yang hendak menghampiri sukma. Mega senja kini telah berganti gulita malam. Menyesakan setiapa rongga dalam dada.
Padang cinta berhias bunga kini telah tiada. Direnggut paksa oleh badai penuh nista. Jangankan benih yang telah tertanam, kelopaknya pun sudah tak dapat kutemukan. Yang ada hanyalah kerikil tajam yang semakin membuat perih setiap jejak yang menapak.
Dan kini kau berada dihadapanku. Berlutut dengan tunduk kepalamu. Menucap beribu kata maaf. Dan mengulang beratus penyesalan. Mengharap cinta yang akarnya telah kau cabut dengan paksa. Meminta hati yang telah kau hancurkan hingga berkeping. Diriku bertanya, bagaimana aku bias memberikan kembali hatiku padamu, bila hingga kini serpihannya pun tak mampu aku satukan. Andai saja kau mengerti. Mengobati hati yang tersakiti tak semudah memberi maaf untuk kata yang salah terucap.   

Rabu, 18 Juli 2012

ONE STEP CLOSER

Kembali aku melihat benda bundar yang terikat di pergelangan tangan kiriku. Entah sudah berapa kali aku melihatnya selama kurang lebih satu jam ini. Dua jarum di dalamnya terus berputar, pertanda aku telah membuang waktuku dengan percuma. Tidak. Bukan aku, melainkan keadaan lah yang telah membuang waktu yang kumiliki.
Satu jam telah berlalu, dimulai dari taxi yang kupesan tiba di depan pagar rumahku. Seharusnya kini aku telah berada ditempat yang akan kutuju. Namun kenyataannya setengah perjalanan pun belum aku tempuh.

"Pak, bisa cari jalan alternatif lain ? Saya buru-buru nih, Pak"

"Aduh Mas, ini juga kita udah lewat jalan pintas. Tapi tetep aja, Mas. Macet. Maklum lah Mas, ini kan malam minggu. Banyak kendaraan dari luar kota."

Kembali aku terdiam. Mencoba membuang keluh yang kurasakan dalam sebuah hembusan nafas panjang.
Yah... Supir taxi itu berkata nyatanya keadaan. Ini adalah malam minggu, saat dimana kendaraan dengan plat nomor dari kota lain menjadi mayoritas dijalanan kota ini. Saat dimana semua orang disarankan untuk melonggarkan batas kesabaran mereka ketika berada dijalanan.

Aku menurunkan kaca pintu disampingku. Berharap angin malam dapat sedikit mengendurkan ketegangan dalam sarafku. Seketika, deru laju kendaraan terdengar jelas dalam rongga telingaku. Hembusan angin meniup lembut helai rambutku. Temaram lampu kota biaskan rona wajahku. Hiruk pikuk jalanan Kota Kembang kini dalam indera penglihatanku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain duduk manis dikursi penumpang. Antrian kendaraan masih terlihat memanjang, sebelum aku tiba dibatas lampu lalu-lintas. Untuk selanjutnya memasuki antrian baru di lampu yang lain. Hingga tiba di tempat seharusnya aku berada kini.

Kerlip lampu kota memang mampu sediki membiusku, hingga rasa bosan sedikit tersingkir dari benakku. Namun kenyataan bahwa aku telah terlambat membuat saraf di otakku sulit mengendur.

Kunyalakan lighter dalam genggamanku, bermaksud menyulut sebatang 'racun' yang telang aku selipkan terlebih dahulu diantara bibirku. Mencoba memberi tambahan penenang dalam tubuhku. Menguapkan 'jengah' yang kurasakan bersama sembulan asap beracun.
Namun belum sempat ujung rokokku terbakar, mataku menangkap keberadaan benda mungil yang tergeletak disamping kemudi. Lama aku menatapnya, sebelum akhirnya sebuah senyum tergurat dari bibirku.

"Maaf Pak, itu punya Bapak ?"

"Apa Mas ?"

"Itu yang disamping kemudi Bapak"

"Oh... Bukan Mas, itu punya penumpang sebelum Mas. Kayaknya terjatuh, kenapa, Mas mau ?"

"Hmmm... Saya beli boleh Pak ?"

"Walah... Ga usah Mas, buat si Mas aja, lagian saya ga doyan"

"Beneran Pak. Makasih deh kalo gitu"

Selain binar lampu kota, supir taxi disampingku ini juga mampu menyingkirkan rasa jenuh dikepalaku. Lelaki yang telah cukup berumur ini sangat ramah untuk ukuran seorang supir taxi. Kami sedikit berbincang ditengah kemacetan yang menjebak kami.
Dan dalam genggamanku kini terdapat sebuah benda pemberian Sang Supir taxi. Sebuah senyum lebar mengembang dari bibirku. Layaknya bocah yang mendapat sebuah permen. Benda dalam genggaman ku ini memang sebuah permen. Lollypop lebih tepatnya. Namun sayang, aku bukan lagi seorang bocah. Meski perasaanku kini tak jauh berbeda dengan seorang bocah.
Kupandangi benda mungil yang harganya tak jauh beda dengan sebatang 'racun' yang tadi akan kuhisap. Kembali kilasan masa lalu berputar dikepalaku. Adegan dimana ia membujuk ku untuk berhenti merokok dengan lollypop sebagai gantinya. Lollypop yang sama persis seperti yang aku pegang kini.
Masih jelas terekam dalam ingatanku senyumnya kala itu. Senyum yang ia simpulkan ketika mendapati wajahku cemberut setelah ia berhasil merampas sebungkus racun milikku. "Percayalah, setangkai lollypop ini mampu memberikan ketenangan lebih dibandingkan sebung racun milik mu itu." Begitu ia berkata. Luluh aku dibuatnya. Hingga aku berhasil membuang jauh kebiasaan burukku itu. Namun kini candu akan batang racun itu kembali dihidupku. Setelah depresi akan kehilangan dirinya menghinggapiku.
Lama aku terbawa dalam lamunan bersama lollypop dimulutku. Menikmati manis kandungan gula didalamnya. Merasakan lembut teksturnya. Memahami unik aromanya. Rasa tenang kini menjalar disaraf otakku. Bersama dengan datangnya kerinduan yang mendalam terhadap ia yang telah tiada.
Perlahan, satu per satu titik kemacetan telah kami lewati. Menembus padatnya Jl.Ir.H Djuanda di malam minggu memang bukan persoalan mudah. Dan kini kakiku telah berpijak pada tanah. Melangkah menuju tempat yang telah dijanjikan. Dihadapanku berdira tegak bangungan mewah yang bernuansa minimalis. Sebuah resto yang menjadi primadona para pelancong. Selain karena masakannya yang terkenal, pemandang yang ditawarkan resto ini juga menjadi daya tarik utama. Tak heran karena resto ini terletak di kawasan Dago atas. Dimana panorama kota bandung akan terlihat sangat indah.
Namun mataku mendapati suatu kejanggalan dihadapanku. Resto ini nampak sepi. Suatu hal yang sangat jarang terjadi kecuali resto ini dalam keadaan tidak beroperasi. Segera aku menghubungi Pram.

"Kamu dimana?" ucapku setelah ia menjawab panggilanku.

"Kamu langsung ke resepsionis aja yah. Tanya meja atas nama ku."
"Tapi Pra...m" panggilan pun terputus sebelum kalimat ku selesai diucapkan. Yah... Walaupun resto ini sepi tapi aku masih melihat ada seorang resepsionis yang berjaga di pintu masuk. Pertanda bahwa resto ini tidak dalam keadaan tutup. Segera aku menghampirinya.
"Selamat malam mba"

"Selamat malam Pak.Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya ramah.

"Meja atas nama Pramudya sebelah mana ya Mba?"

"Bapak ini yang bernama Krisna'?" wanita ini malah bertanya balik kepadaku.seolah ada banya meja yang dipesan dengan nama Pramudya. Sehingga ia harus memastikannya terlebih dahulu.

"Iya, betul Mba"

"Baiklah. Silahkan ikut saya" wanita itu tersenyum.lalu membawaku ke sebuah pintu yang kutahu bukan pintu utama dari tempat ini.

"Silahkan Pak, Pak Pramudya ada didalam" kemudian ia pergi setelah memberikan senyum ramahnya untukku.
Tanganku pun meraih pegangan pintu, namun kakiku tak mampu untuk ku gerakan tatkala pintu dihadapanku terbuka dengan sempurna. Tubuhku membatu ketika mataku mendapati apa yang ada dihadapanku. Silhuet sosok nya begitu indah diterpa remang purnama, dipadu dengan remang cahaya lilin yang memenuhi setiap sudut ruangan ini. Dapat kulihat senyum terlukis diwajahnya. Ia pun bangkit dari duduknya mengulurkan satu dari tangannya. Mengajakku untuk segera mendekati tubuhnya. Beku tubuh ku pun perlahan mencair, dan kakiku pun melangkah menghampirinya. Seketika rongga telingaku menangkap sebuah melodi, intro dari lagu yang sangat kuhafal.

Heart beats fast
color and promises
how to be brave
how can i love with not affraid
to fall

Suara merdu milik Christina Perry mengalun indah. Mengiringi langkahku untuk semakin mendekati sosoknya. Kini aku merasa seperti Bella Swan yang sedang berjalan menuju altar dimana Edward Cullen telah menunggu.
Jarak kami hanya tinggal beberapa langkah. Semakin tegas rupa yang terbias oleh remang cahaya dihadapanku.

One step closer
i have died everyday
waiting for you
darlin dont be affraid
i have love you for a thousand year
i'll love you for a thousand more.

Aku meraih jemari tangan yang ia ulurkan. Menatap lekat setiap lekuk wajahnya. Dialah Pram, kekasihku kini. Seorang yang telah menggu hatiku bertahun lamanya. Seorang yang tak pernah sekalipun meninggalkan ku dalam pilu. Seorang yang sungguh mencintaiku tulus meski tak pernah ada balas dariku dulu. Yah... Itulah dia. Kini penantiannya tak menjadi sia-sia, aku menjadi miliknya setelah seorang yang kucintai pergi selamanya. Kini dia hadir, menjadi pengganti atas masa lalu yang tak kan kembali.

Dan sekali lagi, ia melakukan hal yang membuat diriku semakin dalam jatuh pada hatinya. Entah bagaimana ia melakukan semua ini. Seorang pria menyiapkan candle light dinner yang begitu romantis untuk seorang pria lagi. Entahlah. Aku tak mau tahu. Yang aku tahu, aku sangat mencintai Pram.

"Ada sebuah kejutan lagi yang aku persiapkan" ucapnya setelah aku membenamkan tubuhku dalam peluknya. Lalu Pram mengajakku untuk naik ke lantai dua ruangan ini. Mataku ditutup oleh kain terlebih dahalu olehnya. Dan baru dibuka setelah kami tiba di lantai dua. Tak ada kata yang terucap dari mulutnya, hanya sebuah senyum manis yang terlihat. Di ikuti dengan tangannya yang menunjuk area lantai satu. Aku mengkuti arah telunjuknya. Dan ASTAGA. Kini aku dibuat benar-benar tak bisa berkata. Beratus lilin yang menerangi area lantai satu ternyata dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah untaian kata. Lutut ku lemas menatap nya. Hampir aku terjauh bila tak ada pembatas yang menjadi penahan tubuhku. Aku berbalik kearah Pram yang berada disampingku. Kini ia tengah berlutut dengan kotak beludru biru ditangannya. Isi kotak itu bercayaha diterpa sinar sang purnama. Lagi, senyum itu terlukis diwajahnya. Hanya sebuah kalimat yang mampu aku ucapkan.
"I DO"

END

Minggu, 08 Juli 2012

BAGAS

BAGAS

“HAPPY BIRTHDAY, SWEETHEART!.” Bibir tipisnya berucap dengan kedua telapak tangan memangku birthday cake yang dibawanya. Kesadaranku belum pulih benar, karena ditarik paksa dari kerajaan mimpiku. Tepat pukul 12, Dira mengetuk pintu kostanku. Dira adalah kekasihku. Lelaki tampan yang telah mapan ini telah merenggut hatiku sejak setahun yang lalu. Dalam setengah kesadaranku dan remang pandanganku, aku masih tetap bisa melihat keindahan wajahnya. Bersinar dalam redupnya cahaya lilin diatas birthday cake ditangannya.
“Kok malah bengong sih? Tiup dong lilinnya, keburu abis ntar.” Aku tersadar dari lamunanku, dan segera meniup lilin berbentuk angka 2 dan 6 itu. Menyembulkan asap harapan yang kan terbawa oleh angin hingga terbawa ke pangkuan Sang Pengabul Harapan. Dira mencium keningku, dan mengucap do’a untuk yang terbaik dalam hidupku. Amin.
“Di, kita mau kemana sih?”
“Ntar juga kamu tahu. Sabar yah.” Tatapan Dira tak berubah, tetap lurus memandang jalan dan berkonsentrasi dengan kemudi dalam genggamannya. Melihat medan jalan, memang sudah seharusnya Dira fokus pada laju mobilnya. Dan salahku yang terus bertanya. Sebaiknya aku biarkan Dira, kupalingkan pandanganku, menatap indahnya panorama pegunungan. Empat jam waktu perjalanan telah kami tempuh. Dan kami telah terbebas dari hiruk pikuk perkotaan. Beban kehidupan yang senantiasa menggelayut terasa pudar ketika mataku menatap hijaunya pepohonan. Terasa segar ketika hidungku menghirup udara yang minim polusi.
Sedari tadi aku mengamati jalan yang kami lalui, jalan yang menanjak dengan tebing terjal di salah satu sisinya. Beberapa kali kami melewati pemukiman warga yang terpisah oleh hutan antara pemukiman satu dengan yang lainnya. Jujur aku belum pernah kesini. Dan akupun tak tahu nama dari daerah ini. Rasa penasaranku kumat lagi, aku berbalik hendak bertanya pada Dira, namun gerak tubuhku terhenti ketika Dira juga menghentikan laju mobilnya. Tepat di depan sebuah rumah.
“Udah nyampe. Turun yu.” Tanpa mendengar persetujuanku, Dira telah membuka pintu mobil dan mengeluarkan badannya. Dan akupun melakukan hal yang sama. Seketika dinginnya angin pegunungan memaksa masuk kedalam tubuhku, menerobos pertahanan dari jaket yang aku kenakan. Terik mentari tak terasa menyengat. Meski sekarang siang bolong, namun hanya hangat yang terasa. Kuedarkan pandanganku. Kuputar tubuhku. Menatap kesetiap pelosok dihadapanku. Indah. Hanya kata itulah yang terucap lirih dari bibirku. Guratan tinta lukisan Sang Pencipta.
Kini aku menatap bangunan dihadapanku. Sebuah rumah. Rumah panggung lebih tepatnya. Namun rumah ini terlihat lebih mewah dari rumah panggung yang biasanya terletak di pedesaan. Anyaman bambu yang diberi nama bilik itu terlihat masih baru. Kokoh menjadi dinding rumah. Atap gentingnya pun masih mengkilat diterpa sinar mentari.
“KLIK!”
Seseorang menjentikan jarinya tepat didepan hidungku. Mengacaukan analisaku yang berupa lamunan.
“Kok bengong sih? Ini kejutan yang aku maksud. Kamu suka ngga?” aku menoleh kearah suara itu berasal. Aku hanya tersenyum. Kuberikan senyum terbaik yang kumiliki, sebagai jawaban atas pertanyaannya. Menggantikan rasa bahagia dalam hatiku yang tak mampu kuungkap dalam deretan kata.
“Love you too, sweetheart!” ucapnya, seolah ia bisa membaca pikiranku. Aku mengikuti gerak langkah Dira yang kini berjalan didepanku. Menyusuri jalan menuju pintu rumah. Arah jalanku tegak lurus, namun tidak dengan arah pandanganku. Mataku terus menjelajah menikmati indahnya panorama disekelilingku. Tiba-tiba pandanganku terpaku, ketika melihat sosok yang sedang duduk tenang dikursi yang terletak di pekarangan rumah. Pekarangan itu terletak disisi samping rumah. Berupa hamparan rumput hijau dengan satu buah kursi panjang bercat putih di ujungnya. Sosok itu nampak dengan tenang memandang ke arah ladang sawah dan pedesaan dibawahnya. Rumah ini memang terletak dibagian atas, dan tepat bagian pinggir. Sehingga bagian belakang dan samping rumah ini adalah jurang.
BUGH!
Aku terjatuh, karena asik memandangi sosok itu, aku jadi tidak memperhatikan jalan. Alhasil kakiku tersandung batu. Ternyata Dira telah terlebih dahulu memasuki rumah. Setelah berhasil berdiri aku kembali menoleh kearah sosok tadi berada, namun nihil, sosok itu telah menghilang. Kulebarkan arah pandanganku, namun ia telah benar-benar menghilang.
***
Kulihat jam yang terpasang tepat diatas jendela. Sudah malam ternyata. Aku menggeliat, meregangkan otot-otot dalam tubuhku. Kupandangi sosok yang kini tengah tertidur disampingku. Dira. Kekasihku. Nampak begitu damai menjelajahi alam bawah sadarnya. Nampaknya ia kelelahan dengan perjalanan kami tadi, ditambah dengan ‘aksi liar’ kami sore harinya. Betapa bahagianya diriku saat ini. Hidupku begitu sempurna diatas ketidak sempurnaanku. Aku beranjak dari tempat tidur. Berjalan menuju jendela. Kusibakan tirai berwarna marun penutup kaca. Lagi, mataku dimanjakan oleh pemandangan dihadapanku. Bulan penuh menghiasi gelapnya langit malam. Remang sinarnya menerpa hamparan rumput hijau pekarangan. Dapat kurasakan ketenangan merasuk dalam kalbuku. Kututup kembali tirai marun itu, aku ingin keluar, menikmati terpaan sinar rembulan.
Secangkir cappuccino instan kini dalam jemariku. Kulangkahkan kaki menuju kursi putih di pekarangan. Namun langkahku terhenti ketika aku melewati pintu rumah. Sosok itu kembali hadir, duduk tenang menatap purnama. Ini kali kedua aku melihatnya. Dan untuk kedua kalinya pula aku merasakan sesuatu dalam tubuhku. Sebuah rasa yang menarikku ingin terus menatapnya. Bahkan rasa itu semakin kuat kurasakan kini. Menarik kakiku agar melangkah menghampirinya. Dan rasa itu berhasil, membuatku tegak berdiri tepat disampingnya sekarang. Namun ia tak bergeming. Seolah tak menyadari kehadiranku. Bola matanya tetap menatap bulatnya purnama.
Dinginnya cappuccino dalam cangkir yang kugenggam menjadi pertanda lamanya kami terpaku dalam posisi seperti ini. Akhirnya dia menyerah, dia menoleh kearahku. Sempat aku terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba. Namun tatapannya mampu menenangkanku. Ekspresi wajahnya begitu datar, namun tatapannya begitu lembut dan tenang. Kuposisikan diriku duduk disampingnya, mengikuti arah pandangannya menatap sang purnama.
“Siapa namamu?”
“Bagas.” Ia menjawab tanpa menoleh kearahku. “Namaku Wisnu.” Dan kami kembali terdiam, menikmati indahnya atap dunia.
***
Satu minggu waktu liburan aku dan Dira telah berakhir. Dan besok kami akan kembali pada rutinitas. Senja terakhir kami disini diwarnai rintik pembawa pelangi bila diterpa mentari. Kueratkan pelukanku. Kurapatkan tubuhku. Menikmati kehangatan dan kenyamanan dalam tubuhnya.
“Apakah hadiahku cukup membuatmu bahagia?” sebuah pertanyaan terlontar dari bibir yang sebelumnya telah mencium mesra keningku.
“Apakah perlu aku menjawab pertanyaanmu?”
“Tentu”
“Tiada suatu apapun yang kau berikan mampu membuatku cukup bahagia. Namun cinta dan dirimu mampu membuatku merasakan lebih dari sekedar cukup kebahagiaan.” dan sekali lagi Dira mencium keningku.
Mentari senja kembali bersinar. Membiaskan setiap gemercik rintik. Menggaris pola warna diangkasa. Dan menghapus kelabu dilangit senja.
***
Kembali aku menatap kursi putih itu, beserta sosoknya. Ini adalah malam terakhir aku bisa menatap teduh matanya. Tak terasa satu minggu telah menjadi waktu perkenalan kami. Dan selama satu minggu ini ia selalu menemaniku. Menatap indahnya ladang bintang.
Seperti biasa, tubuhnya terpaku. Pandangannya tertuju tak beralih. Aku mendekatinya dan duduk disampingnya. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Dia akan selalu diam seolah aku tak nampak dalam pandangannya.
Bagas. Satu-satunya kata yang pernah keluar dari mulutnya. Kata berupa nama yang diberikan padanya ketika ia terlahir di dunia. Nama yang masih melekat pada dirinya meski ia telah terlepas dari alam nyata. Dengan kemampuan yang Tuhan berikan padaku, seringkali aku dapat melihat sosok seperti Bagas. Sosok-sosok yang terkadang membuatku berteriak histeris. Atau terkadang sosok yang memaksa masuk kedalam tubuhku dan mengusir jiwaku. Sosok yang sangat aku hindari keberadaannya. Namun tidak dengan Bagas. Sosok ini sama sekali tidak membuatku takut. Teduh matanya, tenang raut wajahnya, membuatku selalu nyaman disampingnya. Dia adalah temanku menghabiskan malam.
Lama kami terdiam dalam pandangan masing-masing. Tidak, bukan kami, melainkan aku. Karena selama kami bersama tak pernah ia berucap, selain mengucap namanya tempo hari. Biasanya aku yang aktif berbicara, bercerita segala hal yang aku alami. Tak ada tanggapan darinya, selain sebuah senyuman indah dari bibirnya. Dan seingatku, dia juga hanya tiga kali melakukannya. Selebihnya ia hanya diam.
Kualihkan pandanganku, menatap rupa seindah purnama. Namun Bagas tertunduk, suatu hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dan… ia terisak.
“Hei..kamu kenapa?” tanyaku cemas. Cemas untuk diriku sendiri lebih tepatnya. Suasana disekeliling kami mulai terasa berbeda. Bulu kudukku terasa mengembang, dan ada sedikit rasa takut yang mulai menyerbu diriku. Bagas tetap terisak dalam tunduknya. Isakan yang tak menghasilkan butiran air dari matanya. Sosok seperti Bagas memang tak mampu untuk mengeluarkan air mata, hanya suara tangisan mereka yang tercipta.
Beberapa kali aku bertanya padanya. Namun ia tetap tak bergeming, hingga ku tak tahu harus berbuat apa lagi. Kini aku hanya diam memandangnya.
“Tulungan abdi (tolongin saya)” tiba-tiba bagas berucap ditengah isakannya. Aku tersentak. Desiran hebat menjalar disekujur tubuhku. Suaranya telah mengahantarkan rasa yang selama ini kuhindari. Rasa yang tak pernah aku temui sejak pertama aku melihatnya. Takut. Yah… kini aku ketakutan. Kini Bagas tengah menatapku. Mulutnya terus berucap. Melafalkan kata yang serupa, tak berganti. “tulungan abdi…tulungan abdi”. Aku tak mampu lagi berkata. Tubuhku membatu. Menatap wajah sosok dihadapanku. Kulit wajahnya tampak lebih pucat, dan matanya… seperti mengisyaratkan pedih yang dialaminya. Matanya telah benar-benar menghipnotis diriku. Tak sedikitpun anggota tubuh mampu aku gerakan, selain kelopak pada kedua mataku.
Dan kini, jantungku dibuat berdetak berkali lipat tatkala aku melihat sesuatu keluar dari lehernya.
“I… itu..darah!!!” batinku histeris.
Yah… itu darah. Cairan segar berwarna merah itu mengalir dari lingkar leher Bagas. Ingin rasanya aku berteriak, namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutku. Berbagai ayat suci yang kuhafal kulafalkan dalam hati. Berharap Tuhan bermurah hati melepaskanku dari keadaan ini. Namun nihil, sosok Bagas kini terlihat begitu menyeramkan, raut wajahnya kini sangat tak bersahabat. Ditambah dengan lirih ucapannya yang tak henti-hentinya berucap kalimat serupa. Aku berharap tubuhku pingsan detik ini juga.
Dan tiba-tiba… Bagas mencengkram erat kedua pergelangan tanganku. Tangannya begitu dingin kurasakan, sedingin tatapan matanya. Tak mampu lagi aku menahan rasa takut dalam diriku. Aku menutup kedua mataku. Berharap Bagas akan lenyap ketika mata ini terbuka. Lama mata ini kupejamkan, hingga akhirnya tak terasa lagi cengkraman Bagas di tanganku. Lirih suaranya pun kini tak terdengar lagi. ‘apakah Bagas telah pergi?’ batinku terus bertanya, hingga akhirnya aku putuskan untuk membuka mataku. Berharap Bagas telah pergi dan semua ini telah berakhir. ‘Namun apa ini? Aku ada dimana?’ batinku kembali bertanya. Mataku telah terbuka, namun aku tidak berada ditempat semula.Kini aku berada di sebuah rumah. Rumah panggung yang sangat sederhana. Dihadapanku ada sebuah pintu tak berdaun. Kakiku melangkah sangat hati-hati. Melewati pintu dihadapanku. Memasuki ruangan yang ternyata adalah sebuah dapur. Kudapati dua sosok terduduk memebelakangi tubuhku. Dua sosok laki-laki yang sedang asik bercengkrama seraya menikmati hangatnya bara api didalam hawu(tungku untuk memasak). Ingin segera aku bertanya pada mereka, mencari penjelasan atas apa yang terjadi. Namun belum sempat mulutku berucap, salah satu dari mereka berbalik hendak mengambil sesuatu. Dan betapa terkejutnya aku ketika remang lampu cempor(lampu minyak) menegaskan rupa sang pemilik raga dihadapanku. “I… itu Bagas!!!!” ucapku tanpa suara. Tuhan, apa yang sebenarnya sedang terjadi?. Mimpi atau ilusikah semua ini. Tuhan tolong kembalikan aku kedalam sadarku. Kembali aku memohon pertolongan pada Sang Esa. Namun dua sosok dihadapanku tetap tak beranjak dari pandanganku. Kuedarkan pandanganku, mengamati rupa sekelilingku. Rumah ini begitu sederhana. Lantai dapur yang masih berupa tanah, dinding bilik yang telah lapuk, hawu, lampu cempor, dan barang-barang yang aku yakini sudah tak dipakai di zaman sekarang. Apakah Bagas tengah memberikan penglihatan padaku. Penglihatan akan dirinya di masa lalu. Seketika pertanyaan itu muncul dibenakku. Namun bila ia benar tengah memberikan penglihatan padaku, tujuannya apa, apa ia ingin menyampaikan suatu pesan. Berbagai pertanyaan berkeliling di kepalaku.
Kutatap lekat wajah mereka berdua. Bagas begitu tampan. Rupa khas pribumi yang begitu menawan. Binar matanya memancarkan kebahagiaan yang teramat sangat. Sorot mata yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Dan disebelahnya, pria jangkung dengan rambut agak kecoklatan. Kulitnya putih dengan bintik merah yang merona di kedua pipinya. Siapa pria ini? Dan apa hubungannya dengan bagas? Dari rupanya aku dapat menebak kalau ia bukan asli pribumi seperti Bagas. Seolah menjawab pertanyaan dalam kepalaku, pria jangkung itu mengecup lembut kening Bagas, disusul dengan sandaran kepala Bagas dibahu si pria jangkung. Mereka terlihat begitu bahagia. Pertanyaan tentang siapa pria jangkung ini terjawab sudah. Ternyata Bagas memiliki cinta yang unik sepertiku.
Aku terpaku, menikmati romantisme masa lalu Bagas. Hingga tiba-tiba terdengar suara teriakan menggema diluar rumah. Bagas dan pria itu bangkit dari duduk. Mereka terlihat begitu cemas. Teriakan itu terus memekik. Memanggil nama Bagas dan pria jangkung yang selanjutnya kuketahui bernama James. Dibarengi dengan sumpah serapah dan cacian akan cinta unik mereka. Apa yang terjadi lagi kini. Aku mulai cemas. Teriakan itu terus menggema. Memanggil mereka untuk segera keluar rumah. Bagas dan James terlihat semakin ketakutan. Begitu pula diriku.
PRRAAAANNNGGG
Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca di tengah rumah. Bagas dan James segera berlari. Aku menyusul mereka. Ternyata kaca jendela pecah, terkena lemparan batu. Mereka semakin cemas. Bagas segera berlari masuk kesalah satu kamar lainnya dirumah ini. James hanya terpaku dalam ketakutannya.
BBRRRUUUUGGG
Pintu rumah didobrak paksa. Terlihat beberapa lelaki muda maupun yang telah berumur merangsak masuk. James segera berlari menyusul Bagas. Diikuti oleh pria-pria yang tadi merangsak masuk. Bagas dan James keluar diseret oleh mereka. Warga yang lain kini telah ikut memasuki rumah. Disudutkannya dua pria malang itu ditengah rumah. Cacian semakin menggema disetiap sudut rumah. Beberepa orang malah meludahi Bagas dan James. Dan beberepa orang lainnya melayangkan beberapa pukulan kebadan mereka. Mereka disiksa karena cinta unik yang mereka miliki. Cinta yang dianggap aib dan membawa petaka pada desa. Tanpa belas kasihan mereka terus menyiksa Bagas dan James. Lebam menghinggapi tubuh mereka. Darah mengalir di wajah mereka. Ingin sekali aku menolong Bagas dan James. Namun aku tak berdaya. Hanya mampu melihat tanpa bisa berbuat. Hatiku menangis menyaksikan kebiadaban dihadapanku. Dan tiba-tiba seseorang merangsak masuk kerumunan manusia biadab dihadapanku. Golok bersarang digenggaman tangannya. Dan… TIDAAAAKKK!!!!
Benda bundar itu menggelinding kearahku, dan berhenti tertahan oleh kakiku. I… itu…itu kepala Bagas. ARRRRGGGGHHH!!! Aku histeris, tubuhku lemas. Nafasku tersenggal. Aku melihat James menangis dalam pesakitannya. Lalu ia dibawa oleh warga entah kemana. Dan jasad Bagas dibawa oleh warga yang lain. Dikuburkannya jasad Bagas di sebuah lahan yang tak terawat.
***
 Jadwal kepulangan aku dan Dira diundur setelah apa yang terjadi padaku dua malam lalu. Dira menemukanku terbaring di kursi pekarangan pada pagi harinya. Kursi yang segera dibongkar setelah aku mendapatkan suatu kenyataan. Kenyataan bahwa Bagas dikubur secara tidak layak tepat dibawah kursi itu. Kini Bagas telah tenang. Ia telah mendapatkan tempat peristirahatan yang seharusnya. Aku dan Dira bersama warga lainnya menguburkan tulang-belulang sisa jasad Bagas di pemakaman desa. Dan kami pun telah melakukan tahlilan untuknya tadi malam.
“Udah siap?” aku tersentak dari lamunanku. tanpa kusadari Dira telah duduk disampingku.
“Udah” senyum indah mengembang dari bibirku.
Kami pun segera bersiap untuk kembali pada rutinitas kami. Setelah semua persiapan selesai kami segera berangkat pulang. Dira kini tenang dalam kemudinya, begitupun aku. Pengalaman yang aku dapatkan disini tak mungkin dapat aku lupakan. Hatiku tersenyum bahagia. Kulirik kaca spion disampingku, dapat kulihat Bagas juga tersenyum padaku.
END

PRAY

PRAY



“ALLOHUAKBAR…ALLOHUAKBAR….ALLOHUAKBAR…ALLOHUAKBAR WALILLAILLHAM”

Gema takbir membahana. Mengisi langit di gelap malam. Bedug berdentum seraya detak jantung.
Gegap gempita membanjiri seisikota. Inilah malam kemenangan, kemenangan untuk seluruh umat
muslim di pelosok dunia. Kemenangan atas tertahannya nafsu. Kemenangan atas kendali dalam diri.

Teramat jelas alunan takbir itu terdengar. Terdengar oleh sepasang daun telinga. Milik seorang pria
yang telah berada di usia senja. Meski usia telah mengikis kemampuan ‘indera’nya perlahan, namun
seruan akan nama Tuhan itu tak pernah menjadi samar sedikitpun melewati genderang sang ‘indera’.
Langit gelap berada dalam tatapan matanya. Tubuhnya terpaku dalam diam, menghayati alunan
memuji Sang Pencipta. Getar bibirnya melafalkan ayat-ayat suci Sang Khalik. Dalam syair indah ayat-
ayat suci itu terselip sebua do’a, do’a yang mulai diucapkannya bertahun-tahun yang lalu. Dimana
tubuh renta itu masih berdiri kokoh, jauh hari sebelum usia perlahan menyedot isi dibawah kulit
kencang miliknya. Kulit yang kini telah mengkerut karena daging yang menariknya kini telah tiada.
Do’a yang selalu ia ucapkan setelah kenyataan yang sangat pahit menghampiri hidupnya. Kenyataan
yang telah meleburkan segala asa dan harapan yang telah ia bangun. Kenyataan bahwa anak laki-laki
satu-satunya yang ia miliki adalah seorang penyuka sesama jenis. Suatu kenyataan yang sangat tidak
bisa diterima oleh pikiran dan hatinya. Kenyataan yang telah berlalu sepuluh tahun lamanya.

Ketika pria itu hendak pulang kerumah setelah keringatnya diperas seharian oleh pekerjaannya. Tak
ada yang pria itu inginkan selain mengistirahatkan badannya. Namun nampaknya keinginan pria itu
menghilang ketika membuka pintu rumahnya. Retina matanya terasa bagai terkena lelehan timah
panas ketika sepasang bola mata miliknya mendapati sesuatu yang janggal dalam pandangannya.
Matanya menangkap kegiatan anak laki-lakinya yang tengah berciuman. Takkanmenjadi sebuah
persoalan yang besar bila yang dicium sang anak adalah seorang perempuan . Namun pemilik bibir
yang ia lihat adalah seorang yang berjenis kelamin sama dengan anaknya . Urat dalam tubuhnya
seketika mengencang, darahnya terasa mendidih dan mengalir deras menuju puncak kepalanya.
Tak dipungkiri lagi amarahnya menjadi. Anak yang ia banggakan telah berbuat nista dihadapan
matanya. Sumpah serapah pun tak terbendung lagi oleh lidahnya. Tendangan dan pukulan melayang
dari kaki dan tangannya. Tubuh anak yang baru duduk di kelas 2 SMA itu perlahan membiru.
Memberi tanda dari setiap hantaman yang diberikan sang ayah. Tak hentinya bibir yang disudutnya
telah meneteskan darah itu memohon ampun. Namun setan telah menutup rapat daun telinga
pria itu. Tak dihiraukannya rintihan sang anak yang mengaduh atas sakit dibadannya. Amarahnya

telah menyingkirkan akal sehat dalam pikirannya. Sang anak pun diusir. ‘Ditendangnya’ sang
anak dari kehidupannya. Diputuskannya ikatan darah yang mengikatnya, meski sejatinya ikatan
itu takkan pernah putus oleh suatu hal apapun. Namun setan telah merasuki tubuhnya. Tak
diperdulikannya nasib sang anak kelak, yang pikirkan hanya rasa malu memiliki seorang anak yang
tak ‘wajar’. Egonya menutup pandangannya akan sesal di kemudian hari. Rasa sesal yang semakin
akut ia rasakan di usianya kini. Sesal yang menjalar dalam nadinya dan mengalir bersama darahnya.
Sesal yang menggiring do’a terucap dari bibirnya. Do’a yang mengharapkan kepulangan anak semata
wayangnya.

Sepuluh tahun sudah do’a itu diucapkan dalam setiap sujudnya kepada Sang Pencipta. Memohon
belas kasih dari-Nya. Tak ada yang lebih ia harapkan dari kepulangan sang anak, menatap wajah
darah dagingnya sebelum matanya tertutup untuk selamanya. Namun waktu nampaknya telah
mengikis harapannya, meski takkanmampu melenyapkannya. Pasrah. Sebuah kata yang enggan ia
ucapkan, apalagi untuk dilakukan. Namun waktu terus berputar. Mengurangi masanya di dunia,
mengikis jatah udara yang dihirupnya. Dan tak luput melunturkan tekad yang membulat dalam
benaknya. ‘Pasrah’ pun perlahan berhasil menelusup dalam relung batinnya.

Diangkatnya badan renta miliknya, dilangkahkan kakinya. Perlahan sepasang kaki tua yang sudah tak
mampu berlari itu mendekati bibir jendela. Hembusan angin malam perlahan membelai lembut kulit
keriput di badannya. Perlahan tetesan air dari mata rabunnya membasahi pipinya. Meratapi kejadian
yang telah berlalu. Ratapan yang selalu ia rasakan. Ratapan yang terasa bagai tusukan beribu pedang
dalam ulu hatinya. Namun tak sedikitpun mampu ia lenyapkan. Apakah rasa sakit ini sama seperti
yang anaknya rasakan ketika ia mengusirnya dulu. Pertanyaan itulah yang senantiasa melancarkan
serangan pedang dalam hatinya.

…………………………

Genderang kemenangan telah ditabuh. Beribu kata maaf telah diucapkan. Lenyaplah dosa dari diri
yang menunaikan ibadahnya sepenuh hati.

Berbagai pasang kaki telah melangkah datang dan pergi melewati pintu yang ia buka lebar, selebar
pintu maaf yang ia buka dihatinya. Hidangan khas yang mengugah selera telah tersaji lengkap di
tempatnya. Namun tangannya enggan untuk menyentuhnya. Setelah silaturahmi dengan tetangga
yang mendatangi rumahnya, ia hanya terdiam. Tubuh tuanya kembali terpaku. Memulai rutinitas
tahunan miliknya . menatap penuh harap ke arah pintu yang terbuka. Menanti sepasang kaki masuk
melewatinya. Menanti tubuh yang ia rindukan memeluknya. Yah, kembali pria renta ini menanti anak
tercintanya pulang di hari yang fitri ini. Berharap keajaiban menghampirinya kali ini. Keajaiban yang
memang selalu ia harapkan di tiap hari dalam hidupnya.

Tak terasa mentari pagi telah merangkak ke tengah langit. Menguatkan pancaran sinar dalam
dirinya. Namun kuatnya pria ini tak sekuat sang surya. Kekuatannya kembali pudar ketika ia tersadar
akan kenyataan. Kenyataan bahwa anaknya takkan pernah kembali. Kenyataan bahwa ia sendiri
tak tau bahwa anaknya masih bernafas atau tidak. Kenyataan yang selalu ia pungkiri. Ia beranjak
meninggalkan penantiannya. Mengubur segala harapannya. Dan merelakan segala yang terjadi
dalam hidupnya. Namun Tuhan berkata lain. Do’a yang selalu pria itu ucapkan akhirnya menjadi
kenyataan. Sang anak pun akhirnya pulang. Sepasang kaki yang sangat dinanti itu akhirnya melangkah masuk ke tempat dimana seharusnya ia berada. Seiring waktu, tubuh kecil itu berubah tegap. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar. Waktu yang lebih dari cukup untuk merubah penampilan, bahkan jati diri seseorang. Pria tua itu awalnya tak menyadari siapa yang berdiri di ambang pintu rumahnya. Menatap seorang anak muda yang begitu tampan dan bertubuh tegap. Berpenampilan sangat menarik dengan balutan kemeja dan jeans dari merek ternama. Namun dia adalah seorang ayah. Meski lama tak berjumpa. Meski wajah telah berubah rupa. Hatinya tak mungkin salah menyangka. Dia tau, anak muda itu adalah anaknya. Anak semata wayang yang telah diusir dari kehidupannya. Ingin rasanya dia melangkah mendekati tubuh sang anak, namun kakinya seolah membeku, merekat kuat pada ubin tempatnya berada. Hanya tetesan kecil yang mulai mencair dari kedua bola matanya. Lama mereka mematung dalam keheningan. Namun rasa rindu telah membuncah. Tak mampu lagi dikurung dalam hati . Sang anak pun berlari, menghampiri tubuh ayahnya yang telah renta. Berlutut memohon ampun atas segala khilaf yang telah diperbuat. Air mata yang telah dibendung selama sepuluh tahun itu kini jebol tanggul. Mengalir bersama rindu yang tercurahkan. Ikatan yang telah renggang itu kembali terpaut. Menjadi jawab atas do’a yang telah dipanjat. Menjadi bukti atas kemurahan hati SANG ESA.

Sabtu, 07 April 2012

THE RINGS




Budhayutz^^


THE RINGS
Purnama terang di puncak gelap malam. Semilir angin berhembus menggelitik jiwa terbang ke alam tak nyata. Peraduan raga ketika belulang terberai di dunia fana.
Mataku terbuka seketika. Terbangun dari tidurku. Untuk kesekian kalinya, mimpi buruk hadir menjadi tamu tak di undang di kerajaan alam bawah sadarku. Rutin mengusik khayalan dalam mimpi indahku. Kurasakan pening mulai menjalar di saraf otakku. Membawa serta perih di bola mataku.  Keheningan malam mempertegas detak jarum yang senantiasa berputar beriringan dalam sangkar kaca berbentuk bulat. Sangkar kaca yang terletak di sudut atas pintu kamarku. Sang jarum berhenti di angka tiga saat ini. Kuangkat tubuhku, kusandarkan pada tumpukan bantal yang telah tersusun. Mengumpulkan sisa kesadaranku. Serta menenangkan debar jantungku. Lama aku tertunduk, bertumpu pada lututku yang bergetar. Sudah hampir seminggu mimpi buruk yang seperti tadi selalu membangunkanku di pagi buta seperti sekarang ini. Aku terdiam di heningnya malam, mencoba mengembalikan sisa tenaga di lutut lemasku. Kuangkat kakiku. Mencoba menggerakan tubuhku ke bagian lain sudut ruangan ini. Kusandarkan tubuh kecilku di dinding. Kurasakan dingin menyelusup di badanku yang hanya mengenakan kaos tanpa lengan.  Lembab oleh udara malam yang beranjak pagi. Kubakar sebatang rokok. Kuhisap dalam-dalam. Lalu kuhembuskan asap tebal ke langit-langit. Perlahan bayangan masa lalu menyeruak di benaku.
#flashback
“Rai...aku ingin kita putus” bibirku berucap di dalam tunduk kepalaku. Tak mampu aku menatap wajahnya ketika kalimat itu terucap.
“HAH!!!! Maksud kamu apa?!” Rai bereaksi atas ucapanku. Membuat pengunjung lain melirik ke arah kami.
“Aku ingin hubungan kita berakhir” suaraku lirih. Kepalaku masih tertunduk. Menahan genangan air di kelopak mata.
“Tapi kenapa Yo?” suara Rai kini mulai teratur. Lembut. Membuat keberanianku hadir untuk bisa menatap wajah lelaki terindah dalam hidupku selama ini. Kutatap wajahnya. Tercetak jelas khawatir di saraf otaknya. Namun tak mengurangi keindahannya. Rai memang tak memiliki wajah setampan yang aku impikan untuk menjadi pasangan hidupku. Standar. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan keadaan fisik kekasihku ini. Karena Rai juga tak memiliki rupa yang buruk. Namun ada sesuatu yang melebihi ‘standar’ fisiknya. Jauh di dalam dirinya tersimpan sosok yang mampu membuatku bertekuk lutut dihadapannya. Sosok bijak penyejuk sukma atas jiwa yang bergejolak. Tak terasa air mataku mulai mengalir, menggantikan kata-kata yang tak mampu ku ucapkan. Kekhawatiran nampaknya mulai memuncak dalam kepala Rai. Terkejut dan tak percaya mungkin yang dia rasakan saat ini. Di genggamnya kini kedua tanganku, tak memperdulikan atas reaksi orang-orang disekitar kami. Bibirnya kembali berucap berbagai kata. Meminta jawaban dari diriku atas situasi seperti ini.  Aku pun sudah tak tahan dengan situasi seperti ini. Tak ingin menambah waktu untuk khawatir bergelayut lebih lama di benak Rai. Otakku berputar. Berusaha mencari kalimat  terbaik yang akan aku lontarkan. Dan akhirnya...
“Aku mencintaimu tanpa alasan. Dan aku rasa, aku  juga tak memerlukan alasan untuk berhenti mencintaimu dan mengakhiri hubungan kita. Semoga kamu menemukan orang lain yang lebih baik dariku.” Sebuah kalimat terlontar dari mulutku. Kalimat yang sangat menyakitkan kurasa. Ku tarik tanganku dari genggaman Rai. Ku hapus air mataku dan segera aku meninggalkan Rai, mencampakkannya ditengah kebingungan dan pesakitan.
#end flashback
Kumandang adzan shubuh mulai menggema. Mataku tak mampu kembali tertutup, rasa kantuk telah benar-benar sirna ketika mataku terbuka seketika oleh mimpi buruk tadi. Hanya rasa perih oleh asap rokok yang mulai terasa. Membuat mataku sedikit berkaca. Sedari tadi fikiranku melayang namun mataku tak beralih, menatap sebuah kotak mungil berbalut beludru. Kotak yang dikirim padaku seminggu yang lalu. Kotak yang membawa mimpi buruk di tiap tidurku. Kuambil secarik kertas yang berada tepat disampingku. Secarik kertas yang sudah tak berbentuk rupa. Kertas yang sudah ku remas ketika pertama kali aku mendapatkannya. Kertas yang tulisannya  hampir memudar karena basah terkena tetesan air mata saat aku pertama membacanya. Kertas yang ku kutuk atas kedatangannya. Namun tak dapat ku hancurkan karena aku begitu merindukan pengirimnya. Kembali aku menatap barisan kata yang tertulis rapi. Entah untuk yang keberapa kalinya aku membaca isi kertas ini.
Aku menunggu dirimu
Aku berharap akan kedatanganmu
Kamu yang akan datang membawa bahagia dalam hidup
Kamu yang mampu lenyapkan kelam dalam angan
Kamu yang akan menjaga hati hingga tak ada derita yang menghampiri jiwa
Kamu yang mampu leburkan nestapa hingga ku merasa di surga

Dear Ryo,
My Lovely One
Sebelumnya izinkan aku memberimu selamat atas bertambahnya usiamu. Ingin rasanya aku memeluk tubuhmu, serta mencium keningmu di hari bahagia untukmu. Menjadikan diriku bagian dari bahagiamu. Namun nampaknya inginku hanya berakhir sebagai sebuah angan. Angan layaknya punguk yang memimpikan indahnya sang rembulan. Sungguh, rasa penasaran ini tak pernah beranjak dari benakku. Keingintahuan atas alasan dirimu mencampakanku, di tanggal yang sama di tahun yang lalu. Mungkin lidahku telah membeku karena tanya selalu keluar dari mulutku. Namun batinku tak pernah berhenti mencari jawaban atas petaka yang terjadi.
Kadang aku berhayal, kau datang tiba-tiba menghampiri diriku dan memelukku. Menyerahkan cinta dan ragamu dalam dekapanku. Khayalan yang aku dapat setelah menonton film bergenre drama romantis. Genre film yang mulai berhenti ku tonton ketika khayalan tentangmu berevolusi menjadi sebuah harapan yang menyiksa relung batinku.
Satu tahun telah berlalu, waktu yang kukira cukup untuk melupakanmu. Namun nyatanya wajahmu tetap terlukis sempurna di pandangan mataku. Tak sedikitpun aku mampu melupakan senyum di wajahmu. Meskipun kenangan tentangmu perlahan hancur oleh amarahku.
Maafkan aku telah  kembali mengusik kehidupanmu. Dan terimalah hadiah dariku. Hadiah yang sejatinya akan mengikat cinta kita di tahun yang lalu. Namun di tahun ini, anggaplah hadiah itu sebagai tanda perpisahan abadi kita.
Maafkan aku yang selalu mencintaimu dan tak sanggup melupakanmu. Harapku selalu untuk bahagiamu.


Rai


Kembali sesak terasa didada. Membuat nafas tersenggal. Hati dan hidupku terasa hancur. Perasaan yang aku dapatkan setiap kali membaca kertas yang berisi tulisan tangan Rai ini. Kucoba meraih kotak beludru yang terletak tak jauh dari keberadaanku. Kubuka kotak mungil itu. Didalamnya terdapat sepasang cincin yang nampaknya terbuat dari emas putih. Cincin yang dibuat sederhana tanpa dihiasi mata. Cincin yang keduanya diperuntukan untuk jemari laki-laki, walaupun dibuat berpasangan. Baru kali ini aku berani memperhatikan kedua cincin ini lebih dekat. Karena sebelumnya rasa sakitku telah menghancurkan seluruh dayaku. Kuperhatikan baik-baik detil cincin ditanganku ini, terdapat ukiran nama kami di bagian dalam masing-masing cincin. Kupakai salah satu cincin yang ukurannya pas di jariku, cincin yang terukir nama Rai didalamnya. Lama aku bermain dengan cincin di jariku. Membayangkan Rai memasangkan cincin ini di jari manisku. Hingga tak terasa, mentari telah menyinari dunia. Melenyapkan gelap. Dan membawakanku sebuah semangat yang membulatkan tekad. “tunggu aku sayang, aku akan kembali dalam pelukanmu. Semoga engkau masih berkenan menyambut cintaku.” Gumamku dalam hati. Segurat senyum hadir di bibirku.
Satu bulan telah berlalu, terhitung dari aku menerima kado dari Rai. Dan lusa aku akan kembali ke tanah kelahiranku. Tanah yang dijuluki Kota Bunga yang dihiasi beribu kelopak cinta. Termasuk kelopak cinta milikku. Rai. Rencana pulang lebih awal nampaknya tak mungkin terwujud karena aplikasi surat cutiku tak mendapat restu dari sang empunya. Alhasil aku harus menunda pertemuanku dengan Rai. Dan hari yang kutunggu-tunggu itu tak lama lagi akan segera menghampiriku. Menggiring jiwa menuju taman cinta.
Andai saja dulu aku dapat lebih berhati-hati, mungkin petaka itu tak kan pernah terjadi. Petaka yang memaksaku untuk hijrah ke kota orang. Dan petaka itu pula yang memisahkan cintaku bersama Rai. Perih rasanya bila mengingat hari itu. Hari dimana bencana itu terjadi.
#flashback
“Ryo...bangun!!!Ryo...Ryo...bangun!!!!” aku yang sedang tertidur pulas tiba-tiba dibangunkan secara kasar. Tubuhku diguncangkan tak karuan. Aku membuka mata. Kudapati Kak Dina berdiri tepat disampingku. Sambil terus berteriak membangunkanku.
“Kenapa Kak? Ada kebakaran?” jawabku setengah sadar. Kesal mimpiku dibuyarkan.
“Ga usah bercanda kamu!! Bangun!!!” kali ini nada suara Kak Dina meninggi. Pertanda ia sedang benar-benar marah.
“Apaan sih kak?!” nada suaraku tak kalah meninggi. Kekesalanku pun bertambah.
“itu apa?!” Kak Dina menunjuk ke arah layar laptop dihadapanku. Aku menoleh. Dan, ASTAGA. Tadi aku tertidur di meja belajar di kamarku. Dengan laptop masih dalam keadaan ON. Ditambah aku belum menutup akun jejaring sosialku. Dan yang lebih parah, aplikasi chat di jejaring sosialku itu belum aku tutup juga. Dan disitu tertulis jelas pembicaraanku dengan Rai sebelum aku tertidur tadi. Sebuah pembicaraan yang cukup mesra diantara kami. Semoga saja Kak Dina belum membacanya. Tuhan tolong aku.
“apa itu?! Jelasin sama kakak!!!” kembali Kak Dina bersuara dengan nada tingginya.
“ehm..itu...ehm..anu...” aku yang tersudut dengan situasi seperti ini tak mampu berkata lebih.
“kamu pacaran sama Rai??? Kamu GAY??!!” Kak Dina mendesakku.
“hah..engga Kak..itu...kita cuma bercanda aja kok...” jawabku mencari alasan.
“ga usah bohong kamu. Kelakuan bejatmu sudah terbongkar. Kamu bisa mengelak tentang hubunganmu dengan Rai, tapi kamu lihat itu” Kak Dina kembali menunjuk ke arah layar monitor. Aku mengikuti arah telunjuk Kak Dina. DAMN!!!!
“situs porno yang kamu buka itu sudah cukup menjadi bukti kalau kamu GAY!!!!” Kak Dina menekankan kata terakhir dalam kalimatnya itu, seraya mendekatkan wajahnya pada mukaku, “dan bersiaplah, begitu papa pulang, kakak akan ceritakan semuanya. Kakak ga sudi punya adik seorang HOMO!!!!” lanjutnya. Dan Kak Dina pun keluar dari kamarku. Membawa rahasia yang selama ini kujaga. Kurasakan kiamat akan segera menghampiri hidupku. Tak dapat kubayangkan bila Kak Dina benar-benar menceritakan perihal ini kepada papa. Aku mencoba menghubungi Rai, namun gagal, nomor Rai tidak aktif. Berkali aku mencoba menghubungi Rai namun selalu gagal. Hingga akhirnya papa pulang. Dan kiamat pun datang. Kak Dina benar-benar telah menghancurkan hidupku. Tak dipungkiri lagi, aku mengutuk kakak tiriku itu. Setelah mendengar cerita dari Kak Dina, darah papa mendidih, segera aku mendapat murka miliknya. Aku disidang layaknya lelaki yang tertangkap basah berbuat zinah di muka umum. Tidak ada ampun, dan tak bisa menawar hukuman. Papa langsung menyuruhku untuk memutuskan hubunganku bersama Rai. Tentu saja aku menolak. Berusaha meyakinkan papa tentang cinta yang kami jalani. Tapi bukan restu yang aku dapatkan, melainkan sebuah ancaman. Papa mengancam akan melakukan berbagai cara untuk memisahkan kami. Dan tak segan menularkan derita yang sedang ku alami pada Rai. Papa memang memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua. Dan aku tak ingin orang yang sangat aku cintai merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Terpaksa aku menuruti semua keinginan papa. Termasuk meneruskan usaha papa dengan memimpin salah satu cabang usaha miliknya di Surabaya. Biarlah Rai merasakan sakit atas cintaku , karena aku yakin suatu saat nanti Rai akan menemukan sosok pengganti yang jauh lebih baik dariku. Namun jangan sampai dia merasakan sakit atas rahasia yang terbongkar pada keluarga. Dia adalah tumpuan keluarga, tak ingin aku menyakiti hati ibu Rai yang telah kuanggap seperti ibuku sendiri.
#end flashback

Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk meyakinkan diriku atas keputusan yang aku ambil sekarang. Kini tekadku sudah bulat, tak ingin aku mengulangi kesalahanku dulu. Tak ingin aku terpisah lebih lama lagi dari orang yang sangat aku cintai. Selama perjalanan pulang tak hentinya aku mengucap harap, berharap Rai akan menerimaku kembali dan memaafkan segala kesalahanku. Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, akhirnya aku tiba di kota kelahiranku. Bandung. Dan di kota ini pula cinta kami lahir. Setelah sampai aku tak langsung pulang ke rumah, melainkan memilih menginap di hotel. Bersembunyi dari papa. Aku tak ingin dia mengetahui tujuan dari kepulanganku, dan kembali menghancurkan kebahagiaanku. Sudah tiga hari aku berada di tanah sunda ini, namun aku masih mengulur waktu menunda pertemuanku dengan Rai. Entah kenapa, rasanya hati ini belum siap. Menghabiskan waktu tiga hari ini mengenang masa-masa indah kami dahulu. Aku datangi beberapa tempat yang menjadi saksi mati atas kebersamaan kami dahulu, dan seketika keberanianku memuncak ketika aku tiba di sebuah jembatan. Jembatan Pasupati. Tempat dimana Rai mengungkapkan perasaannya padaku. Dan tempat dimana sebuah janji di ikrarkan.

#flashback
“Rai kita mau kemana ??” tanyaku setengah berteriak di belakang boncengan Rai.
“Kerupuk !!!” jawab Rai sekenanya diikuti pukulan yang aku berikan di punggung Rai. Aku sudah mengenal Rai semenjak di bangku SMA, semakin hari hubungan kami semakin dekat hingga sekarang. Walaupun aku dan Rai kini terpisah karena berbeda Universitas, namun hubungan kami tak menjadi renggang malah semakin akrab. Dan seiring berjalannya waktu rasa cinta pun tumbuh di hatiku. Aku sudah merasakan perbedaan orientasi seksualku sejak masih SMP, jadi aku merasa tak terlalu aneh bila tiba-tiba aku menyukai Rai. Namun aku berhasil menutupi itu semua, termasuk dari Rai. Aku tak ingin sahabat yang aku sayangi menjauh. Maka aku tahan perasaanku padanya, mencoba menjadi senormal mungkin, layaknya dua lelaki yang bersahabat tanpa memiliki perasaan khusus. Dan seperti malam ini, aku kembali memainkan peranku, menghibur sahabatku yang baru putus dari pacarnya (perempuan tentunya). Dan kebetulan aku juga baru putus dari BF-ku (kalo yang ini Rai gak tauuu..). alhasil malam minggu ini kami habiskan berdua, Rai menghentikan laju motornya, kami  menepi di sisi jalan sebuah jembatan. Jembatan yang menjadi tempat favorit pasangan kekasih untuk bermalam minggu. Tempat yang romantis menurutku, walaupun terletak di pinggir jalan sebuah jembatan. Deru suara knalpot kendaraan yang ramai lalu lalang menjadi live music pengiring kebersamaan kami. Bahagia rasanya, menikmati indahnya kerlip lampu kota di malam hari bersama orang yang aku cintai. Lama kami bersenda gurau ditemani sebungkus rokok dan dua botol minuman randah alkohol, hingga tak menyadari sekitar kami telah sepi. Pasangan muda-mudi satu persatu berlalu, hanya tertinggal beberapa pasang saja. Termasuk kami. Udara malam kian menusuk tulang, jaket yang aku pakai tak mampu menghalanginya. Aku yang kedinginan mencoba menghangatkan diri, menggosokkan kedua telapak tanganku. Tiba-tiba....
“dingin yaa ?? sinii....” Rai yang berdiri di sampingku tiba-tiba beranjak, menggeser posisinya hingga tepat di belakangku. Lalu. Sepasang tangan melingkar di badanku, Rai memelukku. Rasanya seperti jatuh seketika dari jembatan tempat kami berada sekarang, tubuhku yang kedinginan tiba-tiba mati rasa. Berbagai macam fikiran melintas di otakku, ingin aku berontak, melepaskan pelukan Rai. Namun aku juga tak ingin  melewatkan kesempatan yang aku impikan selama ini. Lama batin dan logikaku berseteru. Hingga terasa hembusan hangat di telingaku.
“aku mencintaimu Yo. Mencintaimu sejak dulu.” Rai berbisik lembut di telingaku, membuat bulu kudukku berdiri karena geli. Sekaligus membuat jantungku berhenti berdetak seketika karena kalimat yang terucap dari mulutnya.
“ta..tapi Rai” suaraku terbata. Gugup oleh keadaan.
“sudahlah Yo, gak ada lagi yang perlu kamu tutupi. Aku sudah tau semuanya, kamu juga menyukai laki-laki kan. Yang sekarang aku ingin tau apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan kepadamu Yo ??” Rai menjelaskan, memberikan sedikit ketenangan dalam diriku. Aku lepaskan pelukan Rai. Berbalik. Merubah posisi kami menjadi saling berhadapan. Kulihat raut ketegangan di muka Rai, menunggu jawaban yang akan aku lontarkan.
“Jawablah Yo, sudah terlalu lama aku menyimpan perasaan ini. Tak ingin lagi aku menunggu lebih lama.” Kali ini dia memohon. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Hanya segaris senyum yang aku berikan, membuat satu alis milik Rio terangkat, dan kini giliranku memeluknya, mendekapkan tubuhku padanya.
“Aku juga mencintaimu Rai, mencintaimu sedari dulu.” Mendengar ucapanku, Rai seketika membalas pelukanku, mengusir udara dingin ditubuhku. Lama kami berpelukan, tak memperdulikan tatapan aneh yang tertuju pada kami, dan akhirnya kami lewati malam ini sebagai sepasang kekasih. Mencopot gelar sahabat yang telah mengikat kami selama ini.
“Aku tak ingin kehilanganmu Rai” ucapku lirih yang bersandar di bahu kokoh milik Rai.
“Aku juga sayang. Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi kamu tak kan pernah meninggalkanku.”
“Aku janji Rai. Aku tak akan meninggalkanmu walau maut yang memisahkan kita. Aku akan selalu bersamamu.”
Sebuah ikrar janji yang terucap dari mulutku. Janji yang akan menjadi pilar istana cinta kami.
#end flashback
Pagi ini aku begitu bersemangat , tak sabar ingin segera menemui belahan jiwaku. Dengan membawa kotak beludru pemberian Rai beserta isinya, aku berangkat menuju kantor Rai. Bermaksud memberinya sebuah kejutan. Setibanya di kantor dimana Rai mencari uang untuk sesuap nasi, aku segera menghampiri meja resepsionis. Menanyakan dimana letak keberadaan Rai, atau meminta wanita cantik yang sedang bertugas itu memanggilnya untuk menemuiku. Namun ternyata Rai tidak berada ditempatnya, wanita yang kuketahui bernama Ane itu mengatakan Rai sudah satu minggu tidak masuk kerja. Dikarenakan sakit. Rasa cemas segera menggelayut dibenaku, setahuku Rai adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab. Dia tidak akan meninggalkan pekerjaanya selama itu walaupun dalam kondisi yang tidak baik. Apakah separah itu sakit yang dideritanya? Penyakit apa yang hinggap ditubuhnya, hingga ia meninggalkan pekerjaannya begitu lama. Berbagai pertanyaan hadir di otaku, menambah berat kekhawatiran di hatiku. Tanpa membuang waktu, aku segera menuju rumah Rai, berharap ia ada dirumah dan tidak sedang dirawat dirumah sakit. Selama perjalanan menuju rumah Rai, aku mencoba menghubungi dirinya, mengurungkan kejutan yang ingin kuberikan. Namun nomor HP Rai tidak aktif, aku semakin gelisah dibuatnya. Akhirnya aku tiba diperumahan dimana rumah Rai berada. Jalan yang diportal dan ditambah dengan tak ada penjaga yang mengawasi, membuatku harus turun dari taxi yang kutumpangi, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jarak rumah Rai yang tidak terlalu jauh membuatku tak banyak menghabiskan waktu. Aku sudah tiba di depan rumah Rai, namun rasa khawatirku kini kian menjadi. Mendapati rumah Rai yang begitu ramai, dipenuhi manusia berseragam hitam berlalu-lalang. Dan lututku semakin lemas, mendapati bendera kuning terpasang di pagar rumah milik Rai. Serta alunan ayat suci Al-Qur’an yang samar terdengar dari dalam rumah membuatku semakin merinding. Tuhan, apakah Rai?
Segera aku berlari masuk ke rumah Rai. Ruang tamu yang dulu berisi meja dan kursi, kini telah disulap menjadi sebuah ruangan kosong. Yang hanya beralaskan permadani. Rasa haru menyelimuti setiap sudut ruangan. Badanku lemas. Aku terjatuh berlutut. Menatap seorang terbaring kaku ditutupi oleh sehelai kain. Tepat disampingnya, seorang ibu menangis histeris. Berkali menyebut nama anaknya yang telah tiada. Berharap sang anak akan segera membuka matanya layaknya terbangun dari tidur malamnya.
“Rai...bangun nak. Jangan tinggalin Ibu. Bangun nak. Bangun....” tak hentinya sang Ibu meronta. Seakan segala usahanya itu akan merubah keadaan menjadi hanya sebuah mimpi belaka. Tak dapat kuungkapkan perasaan hatiku saat ini. Hidupku terasa terbentur pada sebuah jalan buntu. Ingin rasanya aku menangis dan meronta seperti sang Ibu. Namun daya dalam tubuhku tak mencukupi, jangankan untuk mengerakan tubuh ku untuk meronta-ronta, hanya sekedar mengeluarkan suara dalam tangispun  aku tak mampu. Hati ini terasa begitu sakit, sehinga seluruh tenaga dalam otot-ototku sirna. Hanya air mata yang tanpa komando bercucuran tanpa henti. Kupaksakan tubuhku bangkit. Berusaha mendekati sosok kaku tak bernyawa dihadapanku. Namun sebelum aku berhasil mendekat, mata sang Ibu lebih dulu menyadari keberadaanku. Nanar sorot matanya diarahkan padaku. Sebuah tatapan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya.
“Mau apa kamu datang kesini?!” sang ibu melontarkan kalimat padaku di tengah isak tangisnya. “Belum puas kamu dengan apa yang kamu lakukan pada anakku?!!” lanjut sang Ibu. Sungguh aku tak mengerti apa yang diucapkannya.
“Bu...tenang Bu...” wanita lain yang sebaya dengan sang Ibu mencoba menenangkannya. Namun tak berhasil. Amarahnya kian menjadi. “Dasar pembunuh!!!! Pergi kamu!!!! Kamu sudah membunuh anakku. Jangan pernah kamu injakan kakimu dirumahku!!!” sang Ibu berteriak histeris, menyalahkanku atas kematian anaknya. Aku yang tak mengerti dengan keadaan, hanya bisa terdiam ditengah tangisanku. Tiba-tiba dua pasang tangan mengangkat tubuhku, awalnya kukira mereka bapak-bapak yang melayat, namun perlahan sikap mereka semakin kasar menarik tubuhku. Aku menoleh, dua orang berseragam security dengan postur tubuh yang tak kecil sedang menyeret tubuhku, menjauh dari jasad Rai yang terbaring kaku. Aku mengenali mereka sebagai ajudan Papa. “mau apa kalian?! Lepasin gue!!!” aku meronta. “maaf tuan. Tapi tuan besar memerintahkan kami untuk membawa tuan pulang kerumah” salah satu ajudan bersuara. “gue ga mau!!! lepasin gue” kembali aku memberikan perlawanan. Namun sia-sia, besar tubuh dan tenagaku tak mampu mengimbangi mereka. Akupun dibawa paksa untuk pulang kerumah.
****
Seminggu berlalu sejak kematian Rai. Pertanyaan tentang penyebab kematian Rai berkecamuk di otakku sejak saat itu. Namun tak ada yang dapat kulakukan untuk mencari tahu. Papa memberikan penjagaan ekstra ketat untukku. Semua alat komunikasiku dicabut. Dan aku tak di izinkan untuk meninggalkan kamar. Seluruh aktifitas yang rutin dilakukan oleh manusia bernyawa aku lakukan dalam kamar ini.  Namun cahaya terang perlahan menelusup dalam gelapnya hidupku kini. Jawaban tentang kematian Rai kini mulai terungakap. Samar aku mendengar penjaga kamarku berbincang di depan pintu. Mereka membicarakan Rai, dan tentu saja kematiannya. Mataku terbelalak seketika, ketika mendengar kenyataan bahwa Papalah dalang dibalik kematian Rai. Papa memerintahkan ajudan-ajudan bertubuh besar miliknya untuk memberi pelajaran terhadap Rai, pelajaran yang tak mungkin Rai lupakan selama hidupnya, namun Papa yakin cukup untuk Rai melupakanku. Saat itu Papa begitu marah ketika Rai datang menemui papa dan meminta restu dari papa untuk hubungan kami. Kejadiaan itu dua minggu setelah Rai mengirim kado untukku. Awalnya papa hanya mengusir Rai, namun Rai tetap memaksa hingga amarah Papa benar-benar tak terbendung lagi. Diperintahkannya ajudan-ajudan itu untuk menghajar Rai. Rai dihajar sedemekian rupa hingga tak sadarkan diri. Tubuhnya dibuang dijalan. Namun ia masih bernyawa. Setelah dibawa kerumah sakit oleh warga sekitar yang menemukan Rai dipinggir jalan, Rai mengalami koma sebelum akhirnya nyawanya ditarik oleh sang malaikat.
Aku mengutuk diriku sendiri. Mengutuk diriku yang tak mampu memperjuangkan cintaku. Berbanding terbalik dengan Rai, yang tetap mempertahankan cintanya padaku hingga akhir hidupnya. Kembali aku meratapi kepergian Rai. Diiringi bayangan tentang masa lalu kami berdua. Dan seketika amarahku membuncah ketika bayangan itu menampakan sosok Papa dan Kak Dina. Tak terasa tanganku bergerak tanpa arah dan kendali, menghancurkan seluruh isi kamar. Menjadikan seluruh isi kamarku sama hancurnya dengan hidupku saat ini, meski tak mampu menandingi.
****
“Wahai kekasih, izinkanlah aku memenuhi janji yang telah aku ucapkan dahulu. Izinkan aku tuk selalu bersamamu. Tak kan lagi aku mengecewakan dirimu. Tak kan lagi raga ini menjauh dari relungmu. Aku kan selalu berada disampingmu. Menemanimu dalam heningnya kubur.”
Kutatap nisan bertuliskan nama Rai dihadapanku. Kini aku telah begitu dekat dengannya. Setelah segala upaya ku kerahkan untuk keluar dari neraka dunia milik Papa. Kini aku ada berada dihadapanmu, dan tak lama lagi kita akan berjalan beriring menuju indahnya taman surga. Kuletakan cincin yang diperuntukan untuk jari Rai. Dan kupakai cincin untuku. Kupenuhi keinginanmu wahai cinta. Cincin ini akan mengikat cinta kita. Wahai malaikat, segeralah datang untuk menjemputku. Dan bawalah diriku untuk menemui cintaku.
Kuarahkan sebuah moncong senapan tepat di kepalaku. Kugerakan jariku untuk segera menarik pelatuknya. Dan.... DOOORRRR!!!!.