Minggu, 08 Juli 2012

PRAY

PRAY



“ALLOHUAKBAR…ALLOHUAKBAR….ALLOHUAKBAR…ALLOHUAKBAR WALILLAILLHAM”

Gema takbir membahana. Mengisi langit di gelap malam. Bedug berdentum seraya detak jantung.
Gegap gempita membanjiri seisikota. Inilah malam kemenangan, kemenangan untuk seluruh umat
muslim di pelosok dunia. Kemenangan atas tertahannya nafsu. Kemenangan atas kendali dalam diri.

Teramat jelas alunan takbir itu terdengar. Terdengar oleh sepasang daun telinga. Milik seorang pria
yang telah berada di usia senja. Meski usia telah mengikis kemampuan ‘indera’nya perlahan, namun
seruan akan nama Tuhan itu tak pernah menjadi samar sedikitpun melewati genderang sang ‘indera’.
Langit gelap berada dalam tatapan matanya. Tubuhnya terpaku dalam diam, menghayati alunan
memuji Sang Pencipta. Getar bibirnya melafalkan ayat-ayat suci Sang Khalik. Dalam syair indah ayat-
ayat suci itu terselip sebua do’a, do’a yang mulai diucapkannya bertahun-tahun yang lalu. Dimana
tubuh renta itu masih berdiri kokoh, jauh hari sebelum usia perlahan menyedot isi dibawah kulit
kencang miliknya. Kulit yang kini telah mengkerut karena daging yang menariknya kini telah tiada.
Do’a yang selalu ia ucapkan setelah kenyataan yang sangat pahit menghampiri hidupnya. Kenyataan
yang telah meleburkan segala asa dan harapan yang telah ia bangun. Kenyataan bahwa anak laki-laki
satu-satunya yang ia miliki adalah seorang penyuka sesama jenis. Suatu kenyataan yang sangat tidak
bisa diterima oleh pikiran dan hatinya. Kenyataan yang telah berlalu sepuluh tahun lamanya.

Ketika pria itu hendak pulang kerumah setelah keringatnya diperas seharian oleh pekerjaannya. Tak
ada yang pria itu inginkan selain mengistirahatkan badannya. Namun nampaknya keinginan pria itu
menghilang ketika membuka pintu rumahnya. Retina matanya terasa bagai terkena lelehan timah
panas ketika sepasang bola mata miliknya mendapati sesuatu yang janggal dalam pandangannya.
Matanya menangkap kegiatan anak laki-lakinya yang tengah berciuman. Takkanmenjadi sebuah
persoalan yang besar bila yang dicium sang anak adalah seorang perempuan . Namun pemilik bibir
yang ia lihat adalah seorang yang berjenis kelamin sama dengan anaknya . Urat dalam tubuhnya
seketika mengencang, darahnya terasa mendidih dan mengalir deras menuju puncak kepalanya.
Tak dipungkiri lagi amarahnya menjadi. Anak yang ia banggakan telah berbuat nista dihadapan
matanya. Sumpah serapah pun tak terbendung lagi oleh lidahnya. Tendangan dan pukulan melayang
dari kaki dan tangannya. Tubuh anak yang baru duduk di kelas 2 SMA itu perlahan membiru.
Memberi tanda dari setiap hantaman yang diberikan sang ayah. Tak hentinya bibir yang disudutnya
telah meneteskan darah itu memohon ampun. Namun setan telah menutup rapat daun telinga
pria itu. Tak dihiraukannya rintihan sang anak yang mengaduh atas sakit dibadannya. Amarahnya

telah menyingkirkan akal sehat dalam pikirannya. Sang anak pun diusir. ‘Ditendangnya’ sang
anak dari kehidupannya. Diputuskannya ikatan darah yang mengikatnya, meski sejatinya ikatan
itu takkan pernah putus oleh suatu hal apapun. Namun setan telah merasuki tubuhnya. Tak
diperdulikannya nasib sang anak kelak, yang pikirkan hanya rasa malu memiliki seorang anak yang
tak ‘wajar’. Egonya menutup pandangannya akan sesal di kemudian hari. Rasa sesal yang semakin
akut ia rasakan di usianya kini. Sesal yang menjalar dalam nadinya dan mengalir bersama darahnya.
Sesal yang menggiring do’a terucap dari bibirnya. Do’a yang mengharapkan kepulangan anak semata
wayangnya.

Sepuluh tahun sudah do’a itu diucapkan dalam setiap sujudnya kepada Sang Pencipta. Memohon
belas kasih dari-Nya. Tak ada yang lebih ia harapkan dari kepulangan sang anak, menatap wajah
darah dagingnya sebelum matanya tertutup untuk selamanya. Namun waktu nampaknya telah
mengikis harapannya, meski takkanmampu melenyapkannya. Pasrah. Sebuah kata yang enggan ia
ucapkan, apalagi untuk dilakukan. Namun waktu terus berputar. Mengurangi masanya di dunia,
mengikis jatah udara yang dihirupnya. Dan tak luput melunturkan tekad yang membulat dalam
benaknya. ‘Pasrah’ pun perlahan berhasil menelusup dalam relung batinnya.

Diangkatnya badan renta miliknya, dilangkahkan kakinya. Perlahan sepasang kaki tua yang sudah tak
mampu berlari itu mendekati bibir jendela. Hembusan angin malam perlahan membelai lembut kulit
keriput di badannya. Perlahan tetesan air dari mata rabunnya membasahi pipinya. Meratapi kejadian
yang telah berlalu. Ratapan yang selalu ia rasakan. Ratapan yang terasa bagai tusukan beribu pedang
dalam ulu hatinya. Namun tak sedikitpun mampu ia lenyapkan. Apakah rasa sakit ini sama seperti
yang anaknya rasakan ketika ia mengusirnya dulu. Pertanyaan itulah yang senantiasa melancarkan
serangan pedang dalam hatinya.

…………………………

Genderang kemenangan telah ditabuh. Beribu kata maaf telah diucapkan. Lenyaplah dosa dari diri
yang menunaikan ibadahnya sepenuh hati.

Berbagai pasang kaki telah melangkah datang dan pergi melewati pintu yang ia buka lebar, selebar
pintu maaf yang ia buka dihatinya. Hidangan khas yang mengugah selera telah tersaji lengkap di
tempatnya. Namun tangannya enggan untuk menyentuhnya. Setelah silaturahmi dengan tetangga
yang mendatangi rumahnya, ia hanya terdiam. Tubuh tuanya kembali terpaku. Memulai rutinitas
tahunan miliknya . menatap penuh harap ke arah pintu yang terbuka. Menanti sepasang kaki masuk
melewatinya. Menanti tubuh yang ia rindukan memeluknya. Yah, kembali pria renta ini menanti anak
tercintanya pulang di hari yang fitri ini. Berharap keajaiban menghampirinya kali ini. Keajaiban yang
memang selalu ia harapkan di tiap hari dalam hidupnya.

Tak terasa mentari pagi telah merangkak ke tengah langit. Menguatkan pancaran sinar dalam
dirinya. Namun kuatnya pria ini tak sekuat sang surya. Kekuatannya kembali pudar ketika ia tersadar
akan kenyataan. Kenyataan bahwa anaknya takkan pernah kembali. Kenyataan bahwa ia sendiri
tak tau bahwa anaknya masih bernafas atau tidak. Kenyataan yang selalu ia pungkiri. Ia beranjak
meninggalkan penantiannya. Mengubur segala harapannya. Dan merelakan segala yang terjadi
dalam hidupnya. Namun Tuhan berkata lain. Do’a yang selalu pria itu ucapkan akhirnya menjadi
kenyataan. Sang anak pun akhirnya pulang. Sepasang kaki yang sangat dinanti itu akhirnya melangkah masuk ke tempat dimana seharusnya ia berada. Seiring waktu, tubuh kecil itu berubah tegap. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar. Waktu yang lebih dari cukup untuk merubah penampilan, bahkan jati diri seseorang. Pria tua itu awalnya tak menyadari siapa yang berdiri di ambang pintu rumahnya. Menatap seorang anak muda yang begitu tampan dan bertubuh tegap. Berpenampilan sangat menarik dengan balutan kemeja dan jeans dari merek ternama. Namun dia adalah seorang ayah. Meski lama tak berjumpa. Meski wajah telah berubah rupa. Hatinya tak mungkin salah menyangka. Dia tau, anak muda itu adalah anaknya. Anak semata wayang yang telah diusir dari kehidupannya. Ingin rasanya dia melangkah mendekati tubuh sang anak, namun kakinya seolah membeku, merekat kuat pada ubin tempatnya berada. Hanya tetesan kecil yang mulai mencair dari kedua bola matanya. Lama mereka mematung dalam keheningan. Namun rasa rindu telah membuncah. Tak mampu lagi dikurung dalam hati . Sang anak pun berlari, menghampiri tubuh ayahnya yang telah renta. Berlutut memohon ampun atas segala khilaf yang telah diperbuat. Air mata yang telah dibendung selama sepuluh tahun itu kini jebol tanggul. Mengalir bersama rindu yang tercurahkan. Ikatan yang telah renggang itu kembali terpaut. Menjadi jawab atas do’a yang telah dipanjat. Menjadi bukti atas kemurahan hati SANG ESA.

1 komentar:

  1. Okay, saya berkomentar apa ya, hehehehe

    Ehem, berat yee jadi seorang ayah
    Apalagi single parent dgn anak semata wayang.

    Saya senang dgn cerita yang berisi hikmah macam ini, tapi anda sepertinya harus lebih menggali konfliknya n percakapan. Cerita kurang afdhol tanpa percakapan. Iya itu aja, anda pandai memainkan diksi, punya bakat jadi sastrawan nih

    BalasHapus