Minggu, 08 Juli 2012

BAGAS

BAGAS

“HAPPY BIRTHDAY, SWEETHEART!.” Bibir tipisnya berucap dengan kedua telapak tangan memangku birthday cake yang dibawanya. Kesadaranku belum pulih benar, karena ditarik paksa dari kerajaan mimpiku. Tepat pukul 12, Dira mengetuk pintu kostanku. Dira adalah kekasihku. Lelaki tampan yang telah mapan ini telah merenggut hatiku sejak setahun yang lalu. Dalam setengah kesadaranku dan remang pandanganku, aku masih tetap bisa melihat keindahan wajahnya. Bersinar dalam redupnya cahaya lilin diatas birthday cake ditangannya.
“Kok malah bengong sih? Tiup dong lilinnya, keburu abis ntar.” Aku tersadar dari lamunanku, dan segera meniup lilin berbentuk angka 2 dan 6 itu. Menyembulkan asap harapan yang kan terbawa oleh angin hingga terbawa ke pangkuan Sang Pengabul Harapan. Dira mencium keningku, dan mengucap do’a untuk yang terbaik dalam hidupku. Amin.
“Di, kita mau kemana sih?”
“Ntar juga kamu tahu. Sabar yah.” Tatapan Dira tak berubah, tetap lurus memandang jalan dan berkonsentrasi dengan kemudi dalam genggamannya. Melihat medan jalan, memang sudah seharusnya Dira fokus pada laju mobilnya. Dan salahku yang terus bertanya. Sebaiknya aku biarkan Dira, kupalingkan pandanganku, menatap indahnya panorama pegunungan. Empat jam waktu perjalanan telah kami tempuh. Dan kami telah terbebas dari hiruk pikuk perkotaan. Beban kehidupan yang senantiasa menggelayut terasa pudar ketika mataku menatap hijaunya pepohonan. Terasa segar ketika hidungku menghirup udara yang minim polusi.
Sedari tadi aku mengamati jalan yang kami lalui, jalan yang menanjak dengan tebing terjal di salah satu sisinya. Beberapa kali kami melewati pemukiman warga yang terpisah oleh hutan antara pemukiman satu dengan yang lainnya. Jujur aku belum pernah kesini. Dan akupun tak tahu nama dari daerah ini. Rasa penasaranku kumat lagi, aku berbalik hendak bertanya pada Dira, namun gerak tubuhku terhenti ketika Dira juga menghentikan laju mobilnya. Tepat di depan sebuah rumah.
“Udah nyampe. Turun yu.” Tanpa mendengar persetujuanku, Dira telah membuka pintu mobil dan mengeluarkan badannya. Dan akupun melakukan hal yang sama. Seketika dinginnya angin pegunungan memaksa masuk kedalam tubuhku, menerobos pertahanan dari jaket yang aku kenakan. Terik mentari tak terasa menyengat. Meski sekarang siang bolong, namun hanya hangat yang terasa. Kuedarkan pandanganku. Kuputar tubuhku. Menatap kesetiap pelosok dihadapanku. Indah. Hanya kata itulah yang terucap lirih dari bibirku. Guratan tinta lukisan Sang Pencipta.
Kini aku menatap bangunan dihadapanku. Sebuah rumah. Rumah panggung lebih tepatnya. Namun rumah ini terlihat lebih mewah dari rumah panggung yang biasanya terletak di pedesaan. Anyaman bambu yang diberi nama bilik itu terlihat masih baru. Kokoh menjadi dinding rumah. Atap gentingnya pun masih mengkilat diterpa sinar mentari.
“KLIK!”
Seseorang menjentikan jarinya tepat didepan hidungku. Mengacaukan analisaku yang berupa lamunan.
“Kok bengong sih? Ini kejutan yang aku maksud. Kamu suka ngga?” aku menoleh kearah suara itu berasal. Aku hanya tersenyum. Kuberikan senyum terbaik yang kumiliki, sebagai jawaban atas pertanyaannya. Menggantikan rasa bahagia dalam hatiku yang tak mampu kuungkap dalam deretan kata.
“Love you too, sweetheart!” ucapnya, seolah ia bisa membaca pikiranku. Aku mengikuti gerak langkah Dira yang kini berjalan didepanku. Menyusuri jalan menuju pintu rumah. Arah jalanku tegak lurus, namun tidak dengan arah pandanganku. Mataku terus menjelajah menikmati indahnya panorama disekelilingku. Tiba-tiba pandanganku terpaku, ketika melihat sosok yang sedang duduk tenang dikursi yang terletak di pekarangan rumah. Pekarangan itu terletak disisi samping rumah. Berupa hamparan rumput hijau dengan satu buah kursi panjang bercat putih di ujungnya. Sosok itu nampak dengan tenang memandang ke arah ladang sawah dan pedesaan dibawahnya. Rumah ini memang terletak dibagian atas, dan tepat bagian pinggir. Sehingga bagian belakang dan samping rumah ini adalah jurang.
BUGH!
Aku terjatuh, karena asik memandangi sosok itu, aku jadi tidak memperhatikan jalan. Alhasil kakiku tersandung batu. Ternyata Dira telah terlebih dahulu memasuki rumah. Setelah berhasil berdiri aku kembali menoleh kearah sosok tadi berada, namun nihil, sosok itu telah menghilang. Kulebarkan arah pandanganku, namun ia telah benar-benar menghilang.
***
Kulihat jam yang terpasang tepat diatas jendela. Sudah malam ternyata. Aku menggeliat, meregangkan otot-otot dalam tubuhku. Kupandangi sosok yang kini tengah tertidur disampingku. Dira. Kekasihku. Nampak begitu damai menjelajahi alam bawah sadarnya. Nampaknya ia kelelahan dengan perjalanan kami tadi, ditambah dengan ‘aksi liar’ kami sore harinya. Betapa bahagianya diriku saat ini. Hidupku begitu sempurna diatas ketidak sempurnaanku. Aku beranjak dari tempat tidur. Berjalan menuju jendela. Kusibakan tirai berwarna marun penutup kaca. Lagi, mataku dimanjakan oleh pemandangan dihadapanku. Bulan penuh menghiasi gelapnya langit malam. Remang sinarnya menerpa hamparan rumput hijau pekarangan. Dapat kurasakan ketenangan merasuk dalam kalbuku. Kututup kembali tirai marun itu, aku ingin keluar, menikmati terpaan sinar rembulan.
Secangkir cappuccino instan kini dalam jemariku. Kulangkahkan kaki menuju kursi putih di pekarangan. Namun langkahku terhenti ketika aku melewati pintu rumah. Sosok itu kembali hadir, duduk tenang menatap purnama. Ini kali kedua aku melihatnya. Dan untuk kedua kalinya pula aku merasakan sesuatu dalam tubuhku. Sebuah rasa yang menarikku ingin terus menatapnya. Bahkan rasa itu semakin kuat kurasakan kini. Menarik kakiku agar melangkah menghampirinya. Dan rasa itu berhasil, membuatku tegak berdiri tepat disampingnya sekarang. Namun ia tak bergeming. Seolah tak menyadari kehadiranku. Bola matanya tetap menatap bulatnya purnama.
Dinginnya cappuccino dalam cangkir yang kugenggam menjadi pertanda lamanya kami terpaku dalam posisi seperti ini. Akhirnya dia menyerah, dia menoleh kearahku. Sempat aku terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba. Namun tatapannya mampu menenangkanku. Ekspresi wajahnya begitu datar, namun tatapannya begitu lembut dan tenang. Kuposisikan diriku duduk disampingnya, mengikuti arah pandangannya menatap sang purnama.
“Siapa namamu?”
“Bagas.” Ia menjawab tanpa menoleh kearahku. “Namaku Wisnu.” Dan kami kembali terdiam, menikmati indahnya atap dunia.
***
Satu minggu waktu liburan aku dan Dira telah berakhir. Dan besok kami akan kembali pada rutinitas. Senja terakhir kami disini diwarnai rintik pembawa pelangi bila diterpa mentari. Kueratkan pelukanku. Kurapatkan tubuhku. Menikmati kehangatan dan kenyamanan dalam tubuhnya.
“Apakah hadiahku cukup membuatmu bahagia?” sebuah pertanyaan terlontar dari bibir yang sebelumnya telah mencium mesra keningku.
“Apakah perlu aku menjawab pertanyaanmu?”
“Tentu”
“Tiada suatu apapun yang kau berikan mampu membuatku cukup bahagia. Namun cinta dan dirimu mampu membuatku merasakan lebih dari sekedar cukup kebahagiaan.” dan sekali lagi Dira mencium keningku.
Mentari senja kembali bersinar. Membiaskan setiap gemercik rintik. Menggaris pola warna diangkasa. Dan menghapus kelabu dilangit senja.
***
Kembali aku menatap kursi putih itu, beserta sosoknya. Ini adalah malam terakhir aku bisa menatap teduh matanya. Tak terasa satu minggu telah menjadi waktu perkenalan kami. Dan selama satu minggu ini ia selalu menemaniku. Menatap indahnya ladang bintang.
Seperti biasa, tubuhnya terpaku. Pandangannya tertuju tak beralih. Aku mendekatinya dan duduk disampingnya. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Dia akan selalu diam seolah aku tak nampak dalam pandangannya.
Bagas. Satu-satunya kata yang pernah keluar dari mulutnya. Kata berupa nama yang diberikan padanya ketika ia terlahir di dunia. Nama yang masih melekat pada dirinya meski ia telah terlepas dari alam nyata. Dengan kemampuan yang Tuhan berikan padaku, seringkali aku dapat melihat sosok seperti Bagas. Sosok-sosok yang terkadang membuatku berteriak histeris. Atau terkadang sosok yang memaksa masuk kedalam tubuhku dan mengusir jiwaku. Sosok yang sangat aku hindari keberadaannya. Namun tidak dengan Bagas. Sosok ini sama sekali tidak membuatku takut. Teduh matanya, tenang raut wajahnya, membuatku selalu nyaman disampingnya. Dia adalah temanku menghabiskan malam.
Lama kami terdiam dalam pandangan masing-masing. Tidak, bukan kami, melainkan aku. Karena selama kami bersama tak pernah ia berucap, selain mengucap namanya tempo hari. Biasanya aku yang aktif berbicara, bercerita segala hal yang aku alami. Tak ada tanggapan darinya, selain sebuah senyuman indah dari bibirnya. Dan seingatku, dia juga hanya tiga kali melakukannya. Selebihnya ia hanya diam.
Kualihkan pandanganku, menatap rupa seindah purnama. Namun Bagas tertunduk, suatu hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dan… ia terisak.
“Hei..kamu kenapa?” tanyaku cemas. Cemas untuk diriku sendiri lebih tepatnya. Suasana disekeliling kami mulai terasa berbeda. Bulu kudukku terasa mengembang, dan ada sedikit rasa takut yang mulai menyerbu diriku. Bagas tetap terisak dalam tunduknya. Isakan yang tak menghasilkan butiran air dari matanya. Sosok seperti Bagas memang tak mampu untuk mengeluarkan air mata, hanya suara tangisan mereka yang tercipta.
Beberapa kali aku bertanya padanya. Namun ia tetap tak bergeming, hingga ku tak tahu harus berbuat apa lagi. Kini aku hanya diam memandangnya.
“Tulungan abdi (tolongin saya)” tiba-tiba bagas berucap ditengah isakannya. Aku tersentak. Desiran hebat menjalar disekujur tubuhku. Suaranya telah mengahantarkan rasa yang selama ini kuhindari. Rasa yang tak pernah aku temui sejak pertama aku melihatnya. Takut. Yah… kini aku ketakutan. Kini Bagas tengah menatapku. Mulutnya terus berucap. Melafalkan kata yang serupa, tak berganti. “tulungan abdi…tulungan abdi”. Aku tak mampu lagi berkata. Tubuhku membatu. Menatap wajah sosok dihadapanku. Kulit wajahnya tampak lebih pucat, dan matanya… seperti mengisyaratkan pedih yang dialaminya. Matanya telah benar-benar menghipnotis diriku. Tak sedikitpun anggota tubuh mampu aku gerakan, selain kelopak pada kedua mataku.
Dan kini, jantungku dibuat berdetak berkali lipat tatkala aku melihat sesuatu keluar dari lehernya.
“I… itu..darah!!!” batinku histeris.
Yah… itu darah. Cairan segar berwarna merah itu mengalir dari lingkar leher Bagas. Ingin rasanya aku berteriak, namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutku. Berbagai ayat suci yang kuhafal kulafalkan dalam hati. Berharap Tuhan bermurah hati melepaskanku dari keadaan ini. Namun nihil, sosok Bagas kini terlihat begitu menyeramkan, raut wajahnya kini sangat tak bersahabat. Ditambah dengan lirih ucapannya yang tak henti-hentinya berucap kalimat serupa. Aku berharap tubuhku pingsan detik ini juga.
Dan tiba-tiba… Bagas mencengkram erat kedua pergelangan tanganku. Tangannya begitu dingin kurasakan, sedingin tatapan matanya. Tak mampu lagi aku menahan rasa takut dalam diriku. Aku menutup kedua mataku. Berharap Bagas akan lenyap ketika mata ini terbuka. Lama mata ini kupejamkan, hingga akhirnya tak terasa lagi cengkraman Bagas di tanganku. Lirih suaranya pun kini tak terdengar lagi. ‘apakah Bagas telah pergi?’ batinku terus bertanya, hingga akhirnya aku putuskan untuk membuka mataku. Berharap Bagas telah pergi dan semua ini telah berakhir. ‘Namun apa ini? Aku ada dimana?’ batinku kembali bertanya. Mataku telah terbuka, namun aku tidak berada ditempat semula.Kini aku berada di sebuah rumah. Rumah panggung yang sangat sederhana. Dihadapanku ada sebuah pintu tak berdaun. Kakiku melangkah sangat hati-hati. Melewati pintu dihadapanku. Memasuki ruangan yang ternyata adalah sebuah dapur. Kudapati dua sosok terduduk memebelakangi tubuhku. Dua sosok laki-laki yang sedang asik bercengkrama seraya menikmati hangatnya bara api didalam hawu(tungku untuk memasak). Ingin segera aku bertanya pada mereka, mencari penjelasan atas apa yang terjadi. Namun belum sempat mulutku berucap, salah satu dari mereka berbalik hendak mengambil sesuatu. Dan betapa terkejutnya aku ketika remang lampu cempor(lampu minyak) menegaskan rupa sang pemilik raga dihadapanku. “I… itu Bagas!!!!” ucapku tanpa suara. Tuhan, apa yang sebenarnya sedang terjadi?. Mimpi atau ilusikah semua ini. Tuhan tolong kembalikan aku kedalam sadarku. Kembali aku memohon pertolongan pada Sang Esa. Namun dua sosok dihadapanku tetap tak beranjak dari pandanganku. Kuedarkan pandanganku, mengamati rupa sekelilingku. Rumah ini begitu sederhana. Lantai dapur yang masih berupa tanah, dinding bilik yang telah lapuk, hawu, lampu cempor, dan barang-barang yang aku yakini sudah tak dipakai di zaman sekarang. Apakah Bagas tengah memberikan penglihatan padaku. Penglihatan akan dirinya di masa lalu. Seketika pertanyaan itu muncul dibenakku. Namun bila ia benar tengah memberikan penglihatan padaku, tujuannya apa, apa ia ingin menyampaikan suatu pesan. Berbagai pertanyaan berkeliling di kepalaku.
Kutatap lekat wajah mereka berdua. Bagas begitu tampan. Rupa khas pribumi yang begitu menawan. Binar matanya memancarkan kebahagiaan yang teramat sangat. Sorot mata yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Dan disebelahnya, pria jangkung dengan rambut agak kecoklatan. Kulitnya putih dengan bintik merah yang merona di kedua pipinya. Siapa pria ini? Dan apa hubungannya dengan bagas? Dari rupanya aku dapat menebak kalau ia bukan asli pribumi seperti Bagas. Seolah menjawab pertanyaan dalam kepalaku, pria jangkung itu mengecup lembut kening Bagas, disusul dengan sandaran kepala Bagas dibahu si pria jangkung. Mereka terlihat begitu bahagia. Pertanyaan tentang siapa pria jangkung ini terjawab sudah. Ternyata Bagas memiliki cinta yang unik sepertiku.
Aku terpaku, menikmati romantisme masa lalu Bagas. Hingga tiba-tiba terdengar suara teriakan menggema diluar rumah. Bagas dan pria itu bangkit dari duduk. Mereka terlihat begitu cemas. Teriakan itu terus memekik. Memanggil nama Bagas dan pria jangkung yang selanjutnya kuketahui bernama James. Dibarengi dengan sumpah serapah dan cacian akan cinta unik mereka. Apa yang terjadi lagi kini. Aku mulai cemas. Teriakan itu terus menggema. Memanggil mereka untuk segera keluar rumah. Bagas dan James terlihat semakin ketakutan. Begitu pula diriku.
PRRAAAANNNGGG
Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca di tengah rumah. Bagas dan James segera berlari. Aku menyusul mereka. Ternyata kaca jendela pecah, terkena lemparan batu. Mereka semakin cemas. Bagas segera berlari masuk kesalah satu kamar lainnya dirumah ini. James hanya terpaku dalam ketakutannya.
BBRRRUUUUGGG
Pintu rumah didobrak paksa. Terlihat beberapa lelaki muda maupun yang telah berumur merangsak masuk. James segera berlari menyusul Bagas. Diikuti oleh pria-pria yang tadi merangsak masuk. Bagas dan James keluar diseret oleh mereka. Warga yang lain kini telah ikut memasuki rumah. Disudutkannya dua pria malang itu ditengah rumah. Cacian semakin menggema disetiap sudut rumah. Beberepa orang malah meludahi Bagas dan James. Dan beberepa orang lainnya melayangkan beberapa pukulan kebadan mereka. Mereka disiksa karena cinta unik yang mereka miliki. Cinta yang dianggap aib dan membawa petaka pada desa. Tanpa belas kasihan mereka terus menyiksa Bagas dan James. Lebam menghinggapi tubuh mereka. Darah mengalir di wajah mereka. Ingin sekali aku menolong Bagas dan James. Namun aku tak berdaya. Hanya mampu melihat tanpa bisa berbuat. Hatiku menangis menyaksikan kebiadaban dihadapanku. Dan tiba-tiba seseorang merangsak masuk kerumunan manusia biadab dihadapanku. Golok bersarang digenggaman tangannya. Dan… TIDAAAAKKK!!!!
Benda bundar itu menggelinding kearahku, dan berhenti tertahan oleh kakiku. I… itu…itu kepala Bagas. ARRRRGGGGHHH!!! Aku histeris, tubuhku lemas. Nafasku tersenggal. Aku melihat James menangis dalam pesakitannya. Lalu ia dibawa oleh warga entah kemana. Dan jasad Bagas dibawa oleh warga yang lain. Dikuburkannya jasad Bagas di sebuah lahan yang tak terawat.
***
 Jadwal kepulangan aku dan Dira diundur setelah apa yang terjadi padaku dua malam lalu. Dira menemukanku terbaring di kursi pekarangan pada pagi harinya. Kursi yang segera dibongkar setelah aku mendapatkan suatu kenyataan. Kenyataan bahwa Bagas dikubur secara tidak layak tepat dibawah kursi itu. Kini Bagas telah tenang. Ia telah mendapatkan tempat peristirahatan yang seharusnya. Aku dan Dira bersama warga lainnya menguburkan tulang-belulang sisa jasad Bagas di pemakaman desa. Dan kami pun telah melakukan tahlilan untuknya tadi malam.
“Udah siap?” aku tersentak dari lamunanku. tanpa kusadari Dira telah duduk disampingku.
“Udah” senyum indah mengembang dari bibirku.
Kami pun segera bersiap untuk kembali pada rutinitas kami. Setelah semua persiapan selesai kami segera berangkat pulang. Dira kini tenang dalam kemudinya, begitupun aku. Pengalaman yang aku dapatkan disini tak mungkin dapat aku lupakan. Hatiku tersenyum bahagia. Kulirik kaca spion disampingku, dapat kulihat Bagas juga tersenyum padaku.
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar