Sabtu, 07 April 2012

THE RINGS




Budhayutz^^


THE RINGS
Purnama terang di puncak gelap malam. Semilir angin berhembus menggelitik jiwa terbang ke alam tak nyata. Peraduan raga ketika belulang terberai di dunia fana.
Mataku terbuka seketika. Terbangun dari tidurku. Untuk kesekian kalinya, mimpi buruk hadir menjadi tamu tak di undang di kerajaan alam bawah sadarku. Rutin mengusik khayalan dalam mimpi indahku. Kurasakan pening mulai menjalar di saraf otakku. Membawa serta perih di bola mataku.  Keheningan malam mempertegas detak jarum yang senantiasa berputar beriringan dalam sangkar kaca berbentuk bulat. Sangkar kaca yang terletak di sudut atas pintu kamarku. Sang jarum berhenti di angka tiga saat ini. Kuangkat tubuhku, kusandarkan pada tumpukan bantal yang telah tersusun. Mengumpulkan sisa kesadaranku. Serta menenangkan debar jantungku. Lama aku tertunduk, bertumpu pada lututku yang bergetar. Sudah hampir seminggu mimpi buruk yang seperti tadi selalu membangunkanku di pagi buta seperti sekarang ini. Aku terdiam di heningnya malam, mencoba mengembalikan sisa tenaga di lutut lemasku. Kuangkat kakiku. Mencoba menggerakan tubuhku ke bagian lain sudut ruangan ini. Kusandarkan tubuh kecilku di dinding. Kurasakan dingin menyelusup di badanku yang hanya mengenakan kaos tanpa lengan.  Lembab oleh udara malam yang beranjak pagi. Kubakar sebatang rokok. Kuhisap dalam-dalam. Lalu kuhembuskan asap tebal ke langit-langit. Perlahan bayangan masa lalu menyeruak di benaku.
#flashback
“Rai...aku ingin kita putus” bibirku berucap di dalam tunduk kepalaku. Tak mampu aku menatap wajahnya ketika kalimat itu terucap.
“HAH!!!! Maksud kamu apa?!” Rai bereaksi atas ucapanku. Membuat pengunjung lain melirik ke arah kami.
“Aku ingin hubungan kita berakhir” suaraku lirih. Kepalaku masih tertunduk. Menahan genangan air di kelopak mata.
“Tapi kenapa Yo?” suara Rai kini mulai teratur. Lembut. Membuat keberanianku hadir untuk bisa menatap wajah lelaki terindah dalam hidupku selama ini. Kutatap wajahnya. Tercetak jelas khawatir di saraf otaknya. Namun tak mengurangi keindahannya. Rai memang tak memiliki wajah setampan yang aku impikan untuk menjadi pasangan hidupku. Standar. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan keadaan fisik kekasihku ini. Karena Rai juga tak memiliki rupa yang buruk. Namun ada sesuatu yang melebihi ‘standar’ fisiknya. Jauh di dalam dirinya tersimpan sosok yang mampu membuatku bertekuk lutut dihadapannya. Sosok bijak penyejuk sukma atas jiwa yang bergejolak. Tak terasa air mataku mulai mengalir, menggantikan kata-kata yang tak mampu ku ucapkan. Kekhawatiran nampaknya mulai memuncak dalam kepala Rai. Terkejut dan tak percaya mungkin yang dia rasakan saat ini. Di genggamnya kini kedua tanganku, tak memperdulikan atas reaksi orang-orang disekitar kami. Bibirnya kembali berucap berbagai kata. Meminta jawaban dari diriku atas situasi seperti ini.  Aku pun sudah tak tahan dengan situasi seperti ini. Tak ingin menambah waktu untuk khawatir bergelayut lebih lama di benak Rai. Otakku berputar. Berusaha mencari kalimat  terbaik yang akan aku lontarkan. Dan akhirnya...
“Aku mencintaimu tanpa alasan. Dan aku rasa, aku  juga tak memerlukan alasan untuk berhenti mencintaimu dan mengakhiri hubungan kita. Semoga kamu menemukan orang lain yang lebih baik dariku.” Sebuah kalimat terlontar dari mulutku. Kalimat yang sangat menyakitkan kurasa. Ku tarik tanganku dari genggaman Rai. Ku hapus air mataku dan segera aku meninggalkan Rai, mencampakkannya ditengah kebingungan dan pesakitan.
#end flashback
Kumandang adzan shubuh mulai menggema. Mataku tak mampu kembali tertutup, rasa kantuk telah benar-benar sirna ketika mataku terbuka seketika oleh mimpi buruk tadi. Hanya rasa perih oleh asap rokok yang mulai terasa. Membuat mataku sedikit berkaca. Sedari tadi fikiranku melayang namun mataku tak beralih, menatap sebuah kotak mungil berbalut beludru. Kotak yang dikirim padaku seminggu yang lalu. Kotak yang membawa mimpi buruk di tiap tidurku. Kuambil secarik kertas yang berada tepat disampingku. Secarik kertas yang sudah tak berbentuk rupa. Kertas yang sudah ku remas ketika pertama kali aku mendapatkannya. Kertas yang tulisannya  hampir memudar karena basah terkena tetesan air mata saat aku pertama membacanya. Kertas yang ku kutuk atas kedatangannya. Namun tak dapat ku hancurkan karena aku begitu merindukan pengirimnya. Kembali aku menatap barisan kata yang tertulis rapi. Entah untuk yang keberapa kalinya aku membaca isi kertas ini.
Aku menunggu dirimu
Aku berharap akan kedatanganmu
Kamu yang akan datang membawa bahagia dalam hidup
Kamu yang mampu lenyapkan kelam dalam angan
Kamu yang akan menjaga hati hingga tak ada derita yang menghampiri jiwa
Kamu yang mampu leburkan nestapa hingga ku merasa di surga

Dear Ryo,
My Lovely One
Sebelumnya izinkan aku memberimu selamat atas bertambahnya usiamu. Ingin rasanya aku memeluk tubuhmu, serta mencium keningmu di hari bahagia untukmu. Menjadikan diriku bagian dari bahagiamu. Namun nampaknya inginku hanya berakhir sebagai sebuah angan. Angan layaknya punguk yang memimpikan indahnya sang rembulan. Sungguh, rasa penasaran ini tak pernah beranjak dari benakku. Keingintahuan atas alasan dirimu mencampakanku, di tanggal yang sama di tahun yang lalu. Mungkin lidahku telah membeku karena tanya selalu keluar dari mulutku. Namun batinku tak pernah berhenti mencari jawaban atas petaka yang terjadi.
Kadang aku berhayal, kau datang tiba-tiba menghampiri diriku dan memelukku. Menyerahkan cinta dan ragamu dalam dekapanku. Khayalan yang aku dapat setelah menonton film bergenre drama romantis. Genre film yang mulai berhenti ku tonton ketika khayalan tentangmu berevolusi menjadi sebuah harapan yang menyiksa relung batinku.
Satu tahun telah berlalu, waktu yang kukira cukup untuk melupakanmu. Namun nyatanya wajahmu tetap terlukis sempurna di pandangan mataku. Tak sedikitpun aku mampu melupakan senyum di wajahmu. Meskipun kenangan tentangmu perlahan hancur oleh amarahku.
Maafkan aku telah  kembali mengusik kehidupanmu. Dan terimalah hadiah dariku. Hadiah yang sejatinya akan mengikat cinta kita di tahun yang lalu. Namun di tahun ini, anggaplah hadiah itu sebagai tanda perpisahan abadi kita.
Maafkan aku yang selalu mencintaimu dan tak sanggup melupakanmu. Harapku selalu untuk bahagiamu.


Rai


Kembali sesak terasa didada. Membuat nafas tersenggal. Hati dan hidupku terasa hancur. Perasaan yang aku dapatkan setiap kali membaca kertas yang berisi tulisan tangan Rai ini. Kucoba meraih kotak beludru yang terletak tak jauh dari keberadaanku. Kubuka kotak mungil itu. Didalamnya terdapat sepasang cincin yang nampaknya terbuat dari emas putih. Cincin yang dibuat sederhana tanpa dihiasi mata. Cincin yang keduanya diperuntukan untuk jemari laki-laki, walaupun dibuat berpasangan. Baru kali ini aku berani memperhatikan kedua cincin ini lebih dekat. Karena sebelumnya rasa sakitku telah menghancurkan seluruh dayaku. Kuperhatikan baik-baik detil cincin ditanganku ini, terdapat ukiran nama kami di bagian dalam masing-masing cincin. Kupakai salah satu cincin yang ukurannya pas di jariku, cincin yang terukir nama Rai didalamnya. Lama aku bermain dengan cincin di jariku. Membayangkan Rai memasangkan cincin ini di jari manisku. Hingga tak terasa, mentari telah menyinari dunia. Melenyapkan gelap. Dan membawakanku sebuah semangat yang membulatkan tekad. “tunggu aku sayang, aku akan kembali dalam pelukanmu. Semoga engkau masih berkenan menyambut cintaku.” Gumamku dalam hati. Segurat senyum hadir di bibirku.
Satu bulan telah berlalu, terhitung dari aku menerima kado dari Rai. Dan lusa aku akan kembali ke tanah kelahiranku. Tanah yang dijuluki Kota Bunga yang dihiasi beribu kelopak cinta. Termasuk kelopak cinta milikku. Rai. Rencana pulang lebih awal nampaknya tak mungkin terwujud karena aplikasi surat cutiku tak mendapat restu dari sang empunya. Alhasil aku harus menunda pertemuanku dengan Rai. Dan hari yang kutunggu-tunggu itu tak lama lagi akan segera menghampiriku. Menggiring jiwa menuju taman cinta.
Andai saja dulu aku dapat lebih berhati-hati, mungkin petaka itu tak kan pernah terjadi. Petaka yang memaksaku untuk hijrah ke kota orang. Dan petaka itu pula yang memisahkan cintaku bersama Rai. Perih rasanya bila mengingat hari itu. Hari dimana bencana itu terjadi.
#flashback
“Ryo...bangun!!!Ryo...Ryo...bangun!!!!” aku yang sedang tertidur pulas tiba-tiba dibangunkan secara kasar. Tubuhku diguncangkan tak karuan. Aku membuka mata. Kudapati Kak Dina berdiri tepat disampingku. Sambil terus berteriak membangunkanku.
“Kenapa Kak? Ada kebakaran?” jawabku setengah sadar. Kesal mimpiku dibuyarkan.
“Ga usah bercanda kamu!! Bangun!!!” kali ini nada suara Kak Dina meninggi. Pertanda ia sedang benar-benar marah.
“Apaan sih kak?!” nada suaraku tak kalah meninggi. Kekesalanku pun bertambah.
“itu apa?!” Kak Dina menunjuk ke arah layar laptop dihadapanku. Aku menoleh. Dan, ASTAGA. Tadi aku tertidur di meja belajar di kamarku. Dengan laptop masih dalam keadaan ON. Ditambah aku belum menutup akun jejaring sosialku. Dan yang lebih parah, aplikasi chat di jejaring sosialku itu belum aku tutup juga. Dan disitu tertulis jelas pembicaraanku dengan Rai sebelum aku tertidur tadi. Sebuah pembicaraan yang cukup mesra diantara kami. Semoga saja Kak Dina belum membacanya. Tuhan tolong aku.
“apa itu?! Jelasin sama kakak!!!” kembali Kak Dina bersuara dengan nada tingginya.
“ehm..itu...ehm..anu...” aku yang tersudut dengan situasi seperti ini tak mampu berkata lebih.
“kamu pacaran sama Rai??? Kamu GAY??!!” Kak Dina mendesakku.
“hah..engga Kak..itu...kita cuma bercanda aja kok...” jawabku mencari alasan.
“ga usah bohong kamu. Kelakuan bejatmu sudah terbongkar. Kamu bisa mengelak tentang hubunganmu dengan Rai, tapi kamu lihat itu” Kak Dina kembali menunjuk ke arah layar monitor. Aku mengikuti arah telunjuk Kak Dina. DAMN!!!!
“situs porno yang kamu buka itu sudah cukup menjadi bukti kalau kamu GAY!!!!” Kak Dina menekankan kata terakhir dalam kalimatnya itu, seraya mendekatkan wajahnya pada mukaku, “dan bersiaplah, begitu papa pulang, kakak akan ceritakan semuanya. Kakak ga sudi punya adik seorang HOMO!!!!” lanjutnya. Dan Kak Dina pun keluar dari kamarku. Membawa rahasia yang selama ini kujaga. Kurasakan kiamat akan segera menghampiri hidupku. Tak dapat kubayangkan bila Kak Dina benar-benar menceritakan perihal ini kepada papa. Aku mencoba menghubungi Rai, namun gagal, nomor Rai tidak aktif. Berkali aku mencoba menghubungi Rai namun selalu gagal. Hingga akhirnya papa pulang. Dan kiamat pun datang. Kak Dina benar-benar telah menghancurkan hidupku. Tak dipungkiri lagi, aku mengutuk kakak tiriku itu. Setelah mendengar cerita dari Kak Dina, darah papa mendidih, segera aku mendapat murka miliknya. Aku disidang layaknya lelaki yang tertangkap basah berbuat zinah di muka umum. Tidak ada ampun, dan tak bisa menawar hukuman. Papa langsung menyuruhku untuk memutuskan hubunganku bersama Rai. Tentu saja aku menolak. Berusaha meyakinkan papa tentang cinta yang kami jalani. Tapi bukan restu yang aku dapatkan, melainkan sebuah ancaman. Papa mengancam akan melakukan berbagai cara untuk memisahkan kami. Dan tak segan menularkan derita yang sedang ku alami pada Rai. Papa memang memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua. Dan aku tak ingin orang yang sangat aku cintai merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Terpaksa aku menuruti semua keinginan papa. Termasuk meneruskan usaha papa dengan memimpin salah satu cabang usaha miliknya di Surabaya. Biarlah Rai merasakan sakit atas cintaku , karena aku yakin suatu saat nanti Rai akan menemukan sosok pengganti yang jauh lebih baik dariku. Namun jangan sampai dia merasakan sakit atas rahasia yang terbongkar pada keluarga. Dia adalah tumpuan keluarga, tak ingin aku menyakiti hati ibu Rai yang telah kuanggap seperti ibuku sendiri.
#end flashback

Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk meyakinkan diriku atas keputusan yang aku ambil sekarang. Kini tekadku sudah bulat, tak ingin aku mengulangi kesalahanku dulu. Tak ingin aku terpisah lebih lama lagi dari orang yang sangat aku cintai. Selama perjalanan pulang tak hentinya aku mengucap harap, berharap Rai akan menerimaku kembali dan memaafkan segala kesalahanku. Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, akhirnya aku tiba di kota kelahiranku. Bandung. Dan di kota ini pula cinta kami lahir. Setelah sampai aku tak langsung pulang ke rumah, melainkan memilih menginap di hotel. Bersembunyi dari papa. Aku tak ingin dia mengetahui tujuan dari kepulanganku, dan kembali menghancurkan kebahagiaanku. Sudah tiga hari aku berada di tanah sunda ini, namun aku masih mengulur waktu menunda pertemuanku dengan Rai. Entah kenapa, rasanya hati ini belum siap. Menghabiskan waktu tiga hari ini mengenang masa-masa indah kami dahulu. Aku datangi beberapa tempat yang menjadi saksi mati atas kebersamaan kami dahulu, dan seketika keberanianku memuncak ketika aku tiba di sebuah jembatan. Jembatan Pasupati. Tempat dimana Rai mengungkapkan perasaannya padaku. Dan tempat dimana sebuah janji di ikrarkan.

#flashback
“Rai kita mau kemana ??” tanyaku setengah berteriak di belakang boncengan Rai.
“Kerupuk !!!” jawab Rai sekenanya diikuti pukulan yang aku berikan di punggung Rai. Aku sudah mengenal Rai semenjak di bangku SMA, semakin hari hubungan kami semakin dekat hingga sekarang. Walaupun aku dan Rai kini terpisah karena berbeda Universitas, namun hubungan kami tak menjadi renggang malah semakin akrab. Dan seiring berjalannya waktu rasa cinta pun tumbuh di hatiku. Aku sudah merasakan perbedaan orientasi seksualku sejak masih SMP, jadi aku merasa tak terlalu aneh bila tiba-tiba aku menyukai Rai. Namun aku berhasil menutupi itu semua, termasuk dari Rai. Aku tak ingin sahabat yang aku sayangi menjauh. Maka aku tahan perasaanku padanya, mencoba menjadi senormal mungkin, layaknya dua lelaki yang bersahabat tanpa memiliki perasaan khusus. Dan seperti malam ini, aku kembali memainkan peranku, menghibur sahabatku yang baru putus dari pacarnya (perempuan tentunya). Dan kebetulan aku juga baru putus dari BF-ku (kalo yang ini Rai gak tauuu..). alhasil malam minggu ini kami habiskan berdua, Rai menghentikan laju motornya, kami  menepi di sisi jalan sebuah jembatan. Jembatan yang menjadi tempat favorit pasangan kekasih untuk bermalam minggu. Tempat yang romantis menurutku, walaupun terletak di pinggir jalan sebuah jembatan. Deru suara knalpot kendaraan yang ramai lalu lalang menjadi live music pengiring kebersamaan kami. Bahagia rasanya, menikmati indahnya kerlip lampu kota di malam hari bersama orang yang aku cintai. Lama kami bersenda gurau ditemani sebungkus rokok dan dua botol minuman randah alkohol, hingga tak menyadari sekitar kami telah sepi. Pasangan muda-mudi satu persatu berlalu, hanya tertinggal beberapa pasang saja. Termasuk kami. Udara malam kian menusuk tulang, jaket yang aku pakai tak mampu menghalanginya. Aku yang kedinginan mencoba menghangatkan diri, menggosokkan kedua telapak tanganku. Tiba-tiba....
“dingin yaa ?? sinii....” Rai yang berdiri di sampingku tiba-tiba beranjak, menggeser posisinya hingga tepat di belakangku. Lalu. Sepasang tangan melingkar di badanku, Rai memelukku. Rasanya seperti jatuh seketika dari jembatan tempat kami berada sekarang, tubuhku yang kedinginan tiba-tiba mati rasa. Berbagai macam fikiran melintas di otakku, ingin aku berontak, melepaskan pelukan Rai. Namun aku juga tak ingin  melewatkan kesempatan yang aku impikan selama ini. Lama batin dan logikaku berseteru. Hingga terasa hembusan hangat di telingaku.
“aku mencintaimu Yo. Mencintaimu sejak dulu.” Rai berbisik lembut di telingaku, membuat bulu kudukku berdiri karena geli. Sekaligus membuat jantungku berhenti berdetak seketika karena kalimat yang terucap dari mulutnya.
“ta..tapi Rai” suaraku terbata. Gugup oleh keadaan.
“sudahlah Yo, gak ada lagi yang perlu kamu tutupi. Aku sudah tau semuanya, kamu juga menyukai laki-laki kan. Yang sekarang aku ingin tau apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan kepadamu Yo ??” Rai menjelaskan, memberikan sedikit ketenangan dalam diriku. Aku lepaskan pelukan Rai. Berbalik. Merubah posisi kami menjadi saling berhadapan. Kulihat raut ketegangan di muka Rai, menunggu jawaban yang akan aku lontarkan.
“Jawablah Yo, sudah terlalu lama aku menyimpan perasaan ini. Tak ingin lagi aku menunggu lebih lama.” Kali ini dia memohon. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Hanya segaris senyum yang aku berikan, membuat satu alis milik Rio terangkat, dan kini giliranku memeluknya, mendekapkan tubuhku padanya.
“Aku juga mencintaimu Rai, mencintaimu sedari dulu.” Mendengar ucapanku, Rai seketika membalas pelukanku, mengusir udara dingin ditubuhku. Lama kami berpelukan, tak memperdulikan tatapan aneh yang tertuju pada kami, dan akhirnya kami lewati malam ini sebagai sepasang kekasih. Mencopot gelar sahabat yang telah mengikat kami selama ini.
“Aku tak ingin kehilanganmu Rai” ucapku lirih yang bersandar di bahu kokoh milik Rai.
“Aku juga sayang. Berjanjilah padaku, apapun yang terjadi kamu tak kan pernah meninggalkanku.”
“Aku janji Rai. Aku tak akan meninggalkanmu walau maut yang memisahkan kita. Aku akan selalu bersamamu.”
Sebuah ikrar janji yang terucap dari mulutku. Janji yang akan menjadi pilar istana cinta kami.
#end flashback
Pagi ini aku begitu bersemangat , tak sabar ingin segera menemui belahan jiwaku. Dengan membawa kotak beludru pemberian Rai beserta isinya, aku berangkat menuju kantor Rai. Bermaksud memberinya sebuah kejutan. Setibanya di kantor dimana Rai mencari uang untuk sesuap nasi, aku segera menghampiri meja resepsionis. Menanyakan dimana letak keberadaan Rai, atau meminta wanita cantik yang sedang bertugas itu memanggilnya untuk menemuiku. Namun ternyata Rai tidak berada ditempatnya, wanita yang kuketahui bernama Ane itu mengatakan Rai sudah satu minggu tidak masuk kerja. Dikarenakan sakit. Rasa cemas segera menggelayut dibenaku, setahuku Rai adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab. Dia tidak akan meninggalkan pekerjaanya selama itu walaupun dalam kondisi yang tidak baik. Apakah separah itu sakit yang dideritanya? Penyakit apa yang hinggap ditubuhnya, hingga ia meninggalkan pekerjaannya begitu lama. Berbagai pertanyaan hadir di otaku, menambah berat kekhawatiran di hatiku. Tanpa membuang waktu, aku segera menuju rumah Rai, berharap ia ada dirumah dan tidak sedang dirawat dirumah sakit. Selama perjalanan menuju rumah Rai, aku mencoba menghubungi dirinya, mengurungkan kejutan yang ingin kuberikan. Namun nomor HP Rai tidak aktif, aku semakin gelisah dibuatnya. Akhirnya aku tiba diperumahan dimana rumah Rai berada. Jalan yang diportal dan ditambah dengan tak ada penjaga yang mengawasi, membuatku harus turun dari taxi yang kutumpangi, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jarak rumah Rai yang tidak terlalu jauh membuatku tak banyak menghabiskan waktu. Aku sudah tiba di depan rumah Rai, namun rasa khawatirku kini kian menjadi. Mendapati rumah Rai yang begitu ramai, dipenuhi manusia berseragam hitam berlalu-lalang. Dan lututku semakin lemas, mendapati bendera kuning terpasang di pagar rumah milik Rai. Serta alunan ayat suci Al-Qur’an yang samar terdengar dari dalam rumah membuatku semakin merinding. Tuhan, apakah Rai?
Segera aku berlari masuk ke rumah Rai. Ruang tamu yang dulu berisi meja dan kursi, kini telah disulap menjadi sebuah ruangan kosong. Yang hanya beralaskan permadani. Rasa haru menyelimuti setiap sudut ruangan. Badanku lemas. Aku terjatuh berlutut. Menatap seorang terbaring kaku ditutupi oleh sehelai kain. Tepat disampingnya, seorang ibu menangis histeris. Berkali menyebut nama anaknya yang telah tiada. Berharap sang anak akan segera membuka matanya layaknya terbangun dari tidur malamnya.
“Rai...bangun nak. Jangan tinggalin Ibu. Bangun nak. Bangun....” tak hentinya sang Ibu meronta. Seakan segala usahanya itu akan merubah keadaan menjadi hanya sebuah mimpi belaka. Tak dapat kuungkapkan perasaan hatiku saat ini. Hidupku terasa terbentur pada sebuah jalan buntu. Ingin rasanya aku menangis dan meronta seperti sang Ibu. Namun daya dalam tubuhku tak mencukupi, jangankan untuk mengerakan tubuh ku untuk meronta-ronta, hanya sekedar mengeluarkan suara dalam tangispun  aku tak mampu. Hati ini terasa begitu sakit, sehinga seluruh tenaga dalam otot-ototku sirna. Hanya air mata yang tanpa komando bercucuran tanpa henti. Kupaksakan tubuhku bangkit. Berusaha mendekati sosok kaku tak bernyawa dihadapanku. Namun sebelum aku berhasil mendekat, mata sang Ibu lebih dulu menyadari keberadaanku. Nanar sorot matanya diarahkan padaku. Sebuah tatapan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya.
“Mau apa kamu datang kesini?!” sang ibu melontarkan kalimat padaku di tengah isak tangisnya. “Belum puas kamu dengan apa yang kamu lakukan pada anakku?!!” lanjut sang Ibu. Sungguh aku tak mengerti apa yang diucapkannya.
“Bu...tenang Bu...” wanita lain yang sebaya dengan sang Ibu mencoba menenangkannya. Namun tak berhasil. Amarahnya kian menjadi. “Dasar pembunuh!!!! Pergi kamu!!!! Kamu sudah membunuh anakku. Jangan pernah kamu injakan kakimu dirumahku!!!” sang Ibu berteriak histeris, menyalahkanku atas kematian anaknya. Aku yang tak mengerti dengan keadaan, hanya bisa terdiam ditengah tangisanku. Tiba-tiba dua pasang tangan mengangkat tubuhku, awalnya kukira mereka bapak-bapak yang melayat, namun perlahan sikap mereka semakin kasar menarik tubuhku. Aku menoleh, dua orang berseragam security dengan postur tubuh yang tak kecil sedang menyeret tubuhku, menjauh dari jasad Rai yang terbaring kaku. Aku mengenali mereka sebagai ajudan Papa. “mau apa kalian?! Lepasin gue!!!” aku meronta. “maaf tuan. Tapi tuan besar memerintahkan kami untuk membawa tuan pulang kerumah” salah satu ajudan bersuara. “gue ga mau!!! lepasin gue” kembali aku memberikan perlawanan. Namun sia-sia, besar tubuh dan tenagaku tak mampu mengimbangi mereka. Akupun dibawa paksa untuk pulang kerumah.
****
Seminggu berlalu sejak kematian Rai. Pertanyaan tentang penyebab kematian Rai berkecamuk di otakku sejak saat itu. Namun tak ada yang dapat kulakukan untuk mencari tahu. Papa memberikan penjagaan ekstra ketat untukku. Semua alat komunikasiku dicabut. Dan aku tak di izinkan untuk meninggalkan kamar. Seluruh aktifitas yang rutin dilakukan oleh manusia bernyawa aku lakukan dalam kamar ini.  Namun cahaya terang perlahan menelusup dalam gelapnya hidupku kini. Jawaban tentang kematian Rai kini mulai terungakap. Samar aku mendengar penjaga kamarku berbincang di depan pintu. Mereka membicarakan Rai, dan tentu saja kematiannya. Mataku terbelalak seketika, ketika mendengar kenyataan bahwa Papalah dalang dibalik kematian Rai. Papa memerintahkan ajudan-ajudan bertubuh besar miliknya untuk memberi pelajaran terhadap Rai, pelajaran yang tak mungkin Rai lupakan selama hidupnya, namun Papa yakin cukup untuk Rai melupakanku. Saat itu Papa begitu marah ketika Rai datang menemui papa dan meminta restu dari papa untuk hubungan kami. Kejadiaan itu dua minggu setelah Rai mengirim kado untukku. Awalnya papa hanya mengusir Rai, namun Rai tetap memaksa hingga amarah Papa benar-benar tak terbendung lagi. Diperintahkannya ajudan-ajudan itu untuk menghajar Rai. Rai dihajar sedemekian rupa hingga tak sadarkan diri. Tubuhnya dibuang dijalan. Namun ia masih bernyawa. Setelah dibawa kerumah sakit oleh warga sekitar yang menemukan Rai dipinggir jalan, Rai mengalami koma sebelum akhirnya nyawanya ditarik oleh sang malaikat.
Aku mengutuk diriku sendiri. Mengutuk diriku yang tak mampu memperjuangkan cintaku. Berbanding terbalik dengan Rai, yang tetap mempertahankan cintanya padaku hingga akhir hidupnya. Kembali aku meratapi kepergian Rai. Diiringi bayangan tentang masa lalu kami berdua. Dan seketika amarahku membuncah ketika bayangan itu menampakan sosok Papa dan Kak Dina. Tak terasa tanganku bergerak tanpa arah dan kendali, menghancurkan seluruh isi kamar. Menjadikan seluruh isi kamarku sama hancurnya dengan hidupku saat ini, meski tak mampu menandingi.
****
“Wahai kekasih, izinkanlah aku memenuhi janji yang telah aku ucapkan dahulu. Izinkan aku tuk selalu bersamamu. Tak kan lagi aku mengecewakan dirimu. Tak kan lagi raga ini menjauh dari relungmu. Aku kan selalu berada disampingmu. Menemanimu dalam heningnya kubur.”
Kutatap nisan bertuliskan nama Rai dihadapanku. Kini aku telah begitu dekat dengannya. Setelah segala upaya ku kerahkan untuk keluar dari neraka dunia milik Papa. Kini aku ada berada dihadapanmu, dan tak lama lagi kita akan berjalan beriring menuju indahnya taman surga. Kuletakan cincin yang diperuntukan untuk jari Rai. Dan kupakai cincin untuku. Kupenuhi keinginanmu wahai cinta. Cincin ini akan mengikat cinta kita. Wahai malaikat, segeralah datang untuk menjemputku. Dan bawalah diriku untuk menemui cintaku.
Kuarahkan sebuah moncong senapan tepat di kepalaku. Kugerakan jariku untuk segera menarik pelatuknya. Dan.... DOOORRRR!!!!.